Jokowi Tunjuk Tumpak Panggabean Pimpin Dewan Pengawas KPK

aa
Tumpak Hatorangan Panggabean.

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Presiden melantik mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar, dan tiga orang lainnya sebagai anggota Dewan Pengawas KPK. Namun, pelantikan itu ditolak oleh aktivis antikorupsi karena keberadaan dewan dianggap akan mereduksi independensi KPK.

Presiden Joko Widodo melantik lima anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) periode 2019-2023, bersamaan dengan pelantikan lima komisioner KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12).

Dewan Pengawas KPK akan diketuai oleh mantan Wakil Ketua KPK pada tahun 2003 Tumpak Hatorangan Panggabean yang berkarier sebagai jaksa lebih dari 30 tahun. Selain itu, Jokowi juga melantik empat anggota Dewas KPK. Mereka adalah mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar, dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang Albertina Ho, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Harjono, dan juga pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris.

Namun, aktivis antikorupsi menolak keberadaan Dewas KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai organ tersebut hanya akan mereduksi KPK sebagai lembaga independen. “Penolakan tersebut tentu juga termasuk kepada siapa pun yang akan ditunjuk presiden sebagai dewan pengawas,” kata peneliti ICW Donal Fariz saat dihubungi BBC Indonesia.

Donal melanjutkan, terdapat dua faktor yang akan mereduksi independensi KPK. Pertama, Dewas KPK ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Kedua, Dewas KPK juga memiliki kewenangan besar pada ranah pro-justitia atau penegakan hukum. “Padahal anggota Dewas bukan penegak hukum. Organ ini akhirnya bertentangan dengan konsep kelembagaan secara pidana dan tata negara”.

‘Komisioner tambahan’

Senada dengan itu, peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai Dewas KPK bukan hanya bertugas dalam bidang pengawasan, namun juga berperan sebagai ‘komisioner tambahan’ karena miliki kewenangan yang sama bahkan lebih tinggi dengan komisioner KPK.

“Keberadaan dewan pengawas mendelegitimasi komisioner yang sudah dipilih sendiri. Bayangkan komisioner punya kebijakan dan harus dikonsultasikan ke dewan pengawas. Dewan pengawas itu bukan dewan pengawas tapi komisioner tambahan,” katanya.

Erwin melanjutkan, penunjukan orang-orang berintegritas masuk menjadi anggota Dewas KPK pun hanya akan memperkeruh permasalahan. Untuk itu, menurutnya solusi terbaik adalah dengan mengosongkan posisi Dewas KPK.

“Meskipun ada orang baik di sana, saya masih belum mengerti keberadaan mereka bakal mendukung KPK, malah sebaliknya orang-orang baik itu rentan dijadikan bumper dalam upaya pelemahan KPK sendiri yang dilakukan Jokowi,” katanya.

Sementara itu, Wadah Pegawai KPK menyambut baik pengajuan Artidjo dan Albertina sebagai anggota Dewas KPK dan berharap tiga anggota Dewas lainnya memiliki integritas tinggi, anti korupsi, dan independen.

“Jika itu benar akan menjadi hal positif karena masyarakat sudah mengenal rekam jejak, integritas dan sikap antikorupsinya, terutama Pak Artidjo yang diketahui merupakan momok menakutkan bagi koruptor dan tak segan menghukum berat,” kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo.

aa
Albertina Ho. (Hak atas foto ANTARA/ANDIKA WAHYU Image caption)

Rekam Jejak Albertina dan Artidjo

Albertina adalah ketua majelis hakim yang menghukum tujuh tahun terdakwa suap mantan pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kini Albertina menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang. Ia pernah mendaftar sebagai calon hakim agung pada 2018, namun hanya lolos sampai seleksi administrasi. Ia berhenti di tes tertulis yang diselenggarakan koleh Komisi Yudisial.

Sosok selanjutnya adalah Artidjo Alkostar yang selama menjabat sebagai hakim agung “ditakuti” para terdakwa korupsi karena kerap memperberat hukuman mereka.  Bahkan ada beberapa dari terdakwa yang mencabut laporan kasasi karena hakimnya adalah Artidjo.

aa
Mantan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar. (Hak atas foto (ANTARA /Galih Pradipta) Image caption)

Beberapa pejabat publik yang pernah diadili Artidjo adalah Angelina Sondakh yang diputus bersalah 12 tahun penjara, padahal pengadilan tipikor dan pengadilan tinggi memberikan sanksi 4,5 tahun penjara.  Kemudian, Anas Urbaningrum yang hukumannya diperberat oleh Artidjo menjadi 14 tahun penjara, dari vonis pengadilan tipikor 8 tahun penjara.

Luthfi Hasan Ishaaq juga merasakan putusan Artidjo, dari vonis 16 tahun di pengadilan tipikor menjadi 18 tahun. Hak politiknya pun dicabut. Ada juga terdakwa korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan tahun 2004-2005 Rahudman Harahap yang divonis bebas pengadilan tipikor, namun divonis lima tahun penjara di tingkat kasasi. Usai Artidjo pensiun, terdakwa korupsi disebut ramai-ramai mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

‘Dewas KPK perkuat pengawasan internal’

Mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mewajibkan pembentukan Dewas KPK.

Erry pun optimis Dewas KPK akan memperkuat pengawasan internal. “Saya pribadi setuju dan dewan pengawas yang ada menurut UU itu kekuasannya besar sampai dengan tahap operasional, penindakan dan penegakan hukum. Jadi luar biasa kewenangan dewan pengawas ini, melebih kewenangan pimpinan bahkan,” kata Erry.

“Mudah-mudahan bisa efektif dijalankan sesuai amanat dan kehendak mereka yang mengubah undang-undang.”

Staf Khusus Presiden bidang hukum Dini Purwono mengatakan, Dewas KPK bertujuan untuk membantu kinerja KPK. “Tunggu aja susunan nama-nama Dewas besok. Nanti dari situ mudah-mudahan bisa jadi langkah awal untuk meyakinkan publik atas keseriusan pemerintah untuk upaya pemberantasan korupsi,” katanya.

KewenanganDewas KPK

Sesuai dengan UU KPK yang baru, Dewas KPK dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Dewas KPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 37 B ayat 1, yakni:

  1. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
  2. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
  3. menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;
  4. menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;
  5. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
  6. melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Sesuai Pasal 69A, anggota Dewas KPK angkatan pertama akan ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Setelah itu, anggota Dewas KPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI berdasarkan calon-calon yang diserahkan oleh presiden setelah dilakukan seleksi oleh panitia seleksi.

Sumber: BBC News Indonesia

Tag: