NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Sejumlah pemilik kapal dan nahkoda kapal angkutan sembako dan kebutuhan sehari-sehari rumah tangga dari Nunukan ke Sebuku, pedalaman Kabupaten Nunukan benar-benar mogok massal mulai hari ini, Senin (27/6/2022), sebagaimana mereka sampaikan, Selasa (21/6/2022) karena belum mendapatkan jaminan dari Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk ditangkap aparat keamanan.
“Karena tidak ada kepastian keamanan, kami pemilik kapal melanjutkan mogok massal ,” kata Ketua Asosiasi Agen Kapal Pedalaman (AAKP) Nunukan, Baharuddin Aras, pada Niaga.Asia, Senin (27/06/2022).
baca juga:
Bupati Nunukan Bersama Forkopimda Bahas Pemenuhan Sembako Masyarakat Pedalaman
Aksi mogok pemilik kapal diikuti pula pedagang sembako wilayah Sebuku dan Nunukan yang serentak menghentikan distribusi sembako baik itu yang berasal dari Sulawesi Selatan (Sulsel) maupun dari Malaysia.
Penghentian distribusi barang Sulsel adalah dampak dari mogoknya kapal yang menimbulkan ketakutan pedagang, terutama untuk barang yang mudah rusak seperti lombok, tomat dan sayuran yang mudah busuk.
“Kami sudah sampaikan kapal mogok, nah pedagang jadinya tidak berani belanja datangkan barang Sulsel sebelum adanya kepastian keberangkatan kapal,” ucap Baharuddin.
Baharuddin menerangkan, hampir 80 persen muatan kapal sembako ke pedalaman berasal dari kapal yang datang dari Sulsel. Sedangkan 20 persen lagi kapal mengangkut sembako atau barang produk Malaysia.
Beberapa barang dari Malaysia tersebut dilarang diperdagangkan, karena tidak masuk daftar barang sembako diperbolehkan, namun pada nyatanya produk tersebut dijual cukup banyak di Sebatik dan Nunukan.
“Barang yang dilarang itu dibeli dari pasar Nunukan, kalau alasanya dilarang untuk Sebuku, kenapa di Sebatik dan Nunukan ada dijual,” terangnya.
Selain di pelabuhan tradisional Inhutani, kapal yang sandar di Jalan Lingkar dan Sei Bolong dan pelabuhan Sebuku juga ikut mogok mendukung dengan menolak atas penangkapan kapal-kapal angkutan sembako oleh aparat keamanan.
Dampak mogok kapal merugikan banyak pihak, pengusaha kapal tetap membayar upah kerja Anak Buah Kapal (ABK) dan begitu pula pengusaha sembako tetap menggaji karyawannya. Sebaliknya masyarakat di Sebuku dan kecamatan lainnya di pedalaman mulai merasakan kelangkaan sembako.
“Kami cuma minta kearifan lokal, toh tidak banyak juga barang Malaysia diangkut, kalau ditangkap terus rugi kami,” terangnya.
Baharuddin mengaku, dirinya sempat dihubungi Bupati Nunukan Hj Asmin Laura dan Sekretaris Daerah Nunukan Serfianus. Keduanya mempertanyakan informasi rencana mogok kapal angkutan sembako yang tergabung dalam AAKP Nunukan.
Pemilik armada angkutan tidak mengurusi soal sembako, namun karena berhubungan dengan keamanan angkutan, AKKP Nunukan ikut peduli atas kegelisahan pedagang sembako pedalaman di Sebuku.
“Kami tidak urus sembako, tapi kami ikut menderita ketika sembako ditangkap karena pemilik kapal tidak menerima ongkos transportasi,” terangnya.
Pelayaran kapal-kapal angkutan sembako ke pedalaman Sebuku biasanya 2 sampai 3 kali dalam satu bulan dengan membawa sembako dan barang lainnya antara 30 sampai 100 ton per kapal.
Selama tidak ada kepastian akan adanya jaminan keamanan, pemilik kapal tetap melakukan aksi mogok meski ada pernyataan lisan yang disampaikan pemerintah daerah dan aparat keamanan.
“Kita ini daerah perbatasan, semua kebutuhan pokok serba terbatas, itulah perlu kebijakan kearifan lokal dan perlakuan khusus,” tutupnya
Penulis: Budi Anshori | Editor: Rachmat Rolau
Tag: Transportasi Laut