Kebun Digusur Pengusaha, Warga Toraja & Kelimutu Tuntut Keadilan ke DPRD Nunukan

RDP DPRD Nunukan bersama warga terkait sengketa lahan di Desa Binusan Dalam (Foto : Budi Anshori/Niaga Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Kelompok masyarakat Toraja dan Kelimutu asal Nusa Tenggara Timur di Desa Binusan Dalam, Kecamatan Nunukan, memprotes penggusuran lahan perkebunan seluas hampir 300 hektare yang diduga dilakukan oknum pengusaha lokal.

Aksi protes penggusuran lahan disampaikan perwakilan masyarakat dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Ketua DPRD Nunukan Rahma Leppa bersama Komisi I DPRD Nunukan.

Leppa mengatakan, RDP sengketa lahan di Desa Binusan Dalam merupakan tindak lanjut dari hasil monitoring DPRD Nunukan. Dimana pada minggu lalu telah bertemu dengan masing-masing perwakilan warga.

“Minggu lalu kita monitoring di sana, kita mendengarkan keluhan adanya penggusuran lahan milik warga oleh oknum pengusaha di Nunukan,” kata Leppa, Senin (28/6).

Sengketa lahan muncul dikarenakan Batto selaku pengusaha mengaku sebagai pemilik dan melakukan pembersihan lahan sejak tahun 2020. Padahal di lokasi tersebut berdiri rumah pondok, serta tanaman milik warga.

Penjelasan ketua DPRD dibenarkan oleh mantan ketua RT 06 Desa Binusan, Similikoto. Dalam RDP mengatakan, kepemilikan lahan warga Toraja di sana sudah jelas dan diketahui oleh kepala desa.

“Banyak saksi-saksi menyaksikan pengesahan penguasaan lahan kami, termasuk Babinsa, staf desa, saksi batas Rasid sebagai pemilik lahan pertama,” ujarnya.

Lahan garapan masyarakat Toraja tersebut dimiliki puluhan orang, dimana masing-masing mendapatkan sekitar 2 hektare. Sebagian lahan disahkan dengan Surat Kepemilikan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang diterbitkan oleh Kepala Desa Binusan.

Kepemilikan lahan Toraja berbatasan dengan masyarakat Bugis dan Kelimutu NTT, dan masing-masing pemilik lahan sudah mengetahui persis batas penguasaan yang dibuktikan dengan sket pembagian lahan. “Kami heran kenapa lahan masyarakat bisa dimiliki H Batto. Kami tidak pernah menjual tanah kebun,” ucapnya.

Diminta penjelasan status lahan, Pejabat Desa Binusan Dalam Asriansyah menerangkan, masyarakat Tidung, Bugis dan Toraja pernah membuat risalah kesepakatan kepemilikan lahan. Sebagian lahan memiliki SKPT diterbitkan tahun 2003, 2004 dan 2005.

“Ada sekitar 55 orang masyarakat Toraja melaporkan lahannya digusur. Saya belum tahu apakah lahan dibeli perusahaan atau pribadi Haji Batto,” tuturnya.

Selain masyarakat Toraja, kekhawatiran muncul pula di kelompok Kelimutu yang mempertanyakan penggusuran lahan perkebunan. Memang, secara hukum masyarakat tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan lahan.

“Kelompok warga Kelimutu tidak memiliki SKPT, namun semua pemilik lahan mengetahui batas-batas lahan dan di sana ada pondok serta tanaman,” ucapnya lagi.

Sementara itu, Kepala Bagian Pemerintahan Setkab Nunukan, Surai menyebutkan, SKPT adalah bukti pengakuan seorang warga yang dilaporkan kepada ketua RT dan Desa, namun pengakuan ini bentuknya sepihak.

“Tiap penerbitan SKPT pasti diberikan catatan apabila ada gugatan dari pihak lain, maka menjadi tanggungjawab pembuat pernyataan,” bebernya.

Penguasaan tanah biasanya didasari garapan dan asal usul. Dimana tiap masyarakat diperbolehkan menguasai lahan puluhan sampai ratusan hektar, akan tetapi tiap seseorang pribadi tidak diperkenankan memiliki secara sah lahan lebih 20 hektar.

“Warga tenang saja, ada aturan kepemilikan tanah, tidak mungkin Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat jika lahan bersengketa,” tegas Surai.

Penulis: Budi Anshori | Editor: Rachmat Rolau

Tag: