Kejagung Tetapkan Seorang Anggota TNI sebagai Tersangka Pelanggaran HAM Berat di Papua

Ketut Sumedana. (Foto Dok Kejagung)

JAKARTA.NIAGA.ASIA– Kejaksaan Agung RI menetapkan seorang tersangka – anggota TNI berinisial IS – dalam kasus pelanggaran HAM berat, Tragedi Paniai yang terjadi pada Desember 2014.

Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah, mengatakan,  tersangka merupakan pensiunan TNI.

“Tersangka tersebut mantan perwira penghubung di Kodim (Komando Distrik Militer) Paniai yang sudah pensiun,” kata Febrie, pada Jumat (01/04) malam, menjelaskan jabatan tersangka saat peristiwa Paniai berdarah terjadi, sebagaimana dikutip BBC News Indonesia.

Dia juga menjelaskan bahwa tersangka tidak ditahan karena menurut penyidik, IS tidak akan melarikan diri.

“Tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sebanyak empat orang warga tewas tertembak dan 21 lainnya terluka ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya,” ujarnya.

Sebelumnya, dalam keterangan persnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyidik telah berhasil mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 183 junto 184 KUHAP. Hal itu memperjelas adanya peristiwa pelanggaran HAM Berat di Paniai Tahun 2014 berupa pembunuhan dan penganiayaan.

“Peristiwa pelanggaran HAM Berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de yure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Februari 2020 baru menetapkan perisitiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014,  merupakan kasus pelanggaran HAM berat menyusul temuan tim.

Dalam peristiwa itu, Komnas HAM mencatat empat orang tewas terkena peluru panas dan luka tusuk. Sementara itu, 21 orang lainnya terluka karena penganiayaan.

Komnas HAM menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Penyidikan  pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Paniai dimulai pada Desember 2021 lalu. Selama kurang lebih empat bulan, Kejaksaan Agung telah memeriksa tujuh warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta enam pakar ahli.

Ketut mengatakan, pemeriksaan dilakukan di beberapa wilayah Indonesia.

“Kita melakukan pemeriksaan sampai ke Jambi, keliling loh, sampai ke Sumbar (Sumatera Barat). Kita ada sampai ke Papua juga,” katanya.

“Tidak hanya di Jakarta, bahkan di Jakarta kita lakukan di tempatnya kepolisian, ada tempatnya TNI, kita lakukan pemeriksaan,” tambah Ketut.

Menjelang pengumuman tersangka dalam kasus kekerasan di Paniai, Papua, oleh Kejaksaan Agung, pada akhir Maret lalu para pegiat HAM dan perwakilan keluarga korban mengkritik proses penyidikan yang dianggap tidak transparan.

Menanggapi hal tersebut, Kejaksaan Agung  mengatakan,  pihaknya sudah transparan dan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM berat itu sudah dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Ketut mengungkap,  Kejaksaan Agung tidak menunjuk penyidik ad hoc karena proses itu akan membuat proses penyidikan berjalan lebih lama lagi.

Dia juga menambahkan, tidak ada aturan yang melarang bahwa penyidikan mutlak dilakukan Jaksa Agung.

“Tapi, memang ada juga bahwa melibatkan ad hoc juga bisa, cuma prosedur pemilihannya akan memakan waktu yang cukup panjang. Kalau makin lama, nanti kita kehilangan waktu dan kehilangan momen untuk melakukan penyidikan,” katanya.

Sementara itu, terkait pemeriksaan keluarga korban dan korban, Direktur Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung pada Jampidsus, Erryl Prima Putera, mengatakan sudah memeriksa kedua pihak.

“Dalam setiap perkara kan kita harus periksa (korban). Salah satu korban juga sudah kita periksa di Papua sana,” kata Erryl kepada BBC News Indonesia, Selasa (29/03).

Proses penyidikan, diakui Erryl, memang berlangsung diam-diam agar berjalan lancar karena kasus pelanggaran HAM berbeda dengan kasus-kasus lainnya.

“Semua sudah sesuai mekanisme KUHAP,” tegas Erryl.

Sebelumnya, Ketut mengatakan penyidikan yang dilakukan oleh pihaknya sudah dilakukan sesuai kebutuhan.

“Penyidikan itu tergantung kebutuhan penyidikan, artinya penyidik menentukan apa yang dilakukan dalam menyelesaikan proses penyidikan itu, apa yang diperlukan, itulah yang dicari dulu.

“Kita tidak melebar ke mana-mana. Nanti kalau kita melibatkan sesuatu yang tidak terkait dengan pembuktikan, nanti malah ke mana-mana kasusnya,” kata Ketut.

**) Artikel ini bersumber dari BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul Kasus Paniai, Papua: Anggota TNI ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pelanggaran HAM berat. 

Tag: