
NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Kejaksaan Negeri (Kejari) Nunukan mencium adanya indikasi penyimpangan dalam penetapan harga satuan barang dan pelaksanaan pengerjaan di proyek septic tank komunal gratis selama tiga tahun, mulai sejak tahun 2018, 2019, dan 2020.
“Kita melihat adanya indikasi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat di instansi pengelola proyek septic tank,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Nunukan, Ricky Rangkuti pada Niaga.Asia, Rabu (19/01/2022).
Ricky menjelaskan, pekerjaan septic tank tahun 2018 dikelola 12 KSM dengan nilai anggaran untuk pembelian material proyek Rp 4.6 miliar, kegiatan tahun 2019 oleh 5 KSM nilai belanja Rp2,7 miliar, sedangkan tahun 2020 dikelola 25 KSM nilai kegiatan Rp7,8 miliar.
Anggaran tersebut jelas Ricky, belum termasuk biaya pekerjaan fisik, yaitu galian lubang septic tank, cor semen dan upah kerja.
“Aanggaran proyek itu seharusnya dikelola oleh KSM, malah dikendalikan oleh seseorang atas persetujuan DPU Nunukan. “Banyak pihak-pihak lain memanfaatkan pekerjaan ini, seharusnya swakelola malah diambil alih oleh orang pribadi mengatasnamakan KSM,” ungkapnya.
Indikasi adanya penyimpangan mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi terungkap bersamaan pemeriksaan pembangunan proyek septic tank tahun 2020 memakai nama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), tapi sebetulnya dikerjakan kontraktor swasta.
“Ada pihak kontraktor yang lebih berperan dari KSM dalam pengerjaan proyek septic tank sejak 2018 – 2020,” sebut Ricky.
Menurut dia, untuk mengungkap dugaan penyimpangan, Kejari Nunukan meminta keterangan dari Tenaga Pengawas Lapangan (TPL), KSM, termasuk PPTK dan PPK dari bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nunukan.
Pengembangan pemeriksaan mengarah pula kepada dua perusahaan supplier yang ditunjuk oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Nunukan, termasuk seseorang warga yang bertindak selaku penghubung antara produsen PT Biotech dengan supplier.
“Kadis PU Nunukan menerbitkan Surat Perintah Kerja (SKP) kepada supplier, padahal sudah jelas pekerjaan ini bukan proyek lelang,” sebutnya.
Tidak hanya penyimpangan kewenangan, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh DPU Nunukan, diduga tidak berdasarkan hasil survei sebagai pembanding dalam menentukan harga satuan material proyek.
Penentuan HPS yang tidak jelas ini berpotensi memunculkan mark-up nilai material proyek maupun biaya pekerjaan fisik.
“Hasil asistensi kita, HPS dibuat tanpa survei, anehnya lagi bagian keuangan Pemkab Nunukan, tidak mempermasalahkan,” tuturnya.
Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau