Kemenkes Ambil Alih Izin Edar Obat, YLKI: Pengawasan Akan Semakin “Kedodoran”

aa
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (tengah) beralasan proses perizinan yang sangat lama telah memakan biaya operasional perusahaan produsen obat. (Hak atas foto ANTARA FOTO/Nova Wahyudi Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Rencana Kementerian Kesehatan yang akan memangkas proses perizinan peredaran obat dipandang sebagai “langkah mundur” dan dikhawatirkan justru akan membahayakan konsumen.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyebut hal itu akan membuat fungsi pengawasan obat yang selama ini ditangani oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan semakin “kedodoran”.

“Bahayanya, kalau dari sisi pengawasannya tidak berjalan kan menjadi berbahaya karena potensi konsumen mengkonsumsi obat bermasalah, seperti obat kedaluwarsa ataupun obat palsu yang selama ini marak,” ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi kepada BBC News Indonesia, Selasa (26/11).

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto beralasan proses perizinan yang sangat lama telah memakan biaya operasional perusahaan produsen obat. Menurutnya, kunci untuk mengurai persoalan tersebut adalah proses perizinan yang mudah dan cepat. Dengan dipangkasnya proses izin edar obat-obatan, industri akan bisa bersaing dengan menawarkan harga jual yang lebih rendah.

Namun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut akar masalah mahalnya harga obat di Indonesia bukanlah pada hal perizinan, melainkan mahalnya bahan baku obat dan panjangnya rantai distribusi obat.

Hal itu diamini oleh Kepala BPOM Penny Lukito yang menyebut “tidak ada keterkaitan langsung harga obat yang tinggi dengan izin edar”. “Banyak hal lain yang perlu dibenahi terkait harga obat,” ujar Penny melalui pesan singkat.

aa
Izin edar produk farmasi, terutama obat-obatan yang biasanya berada dalam kendali BPOM, kini akan diambil alih kembali oleh Kementerian Kesehatan. (Hak atas foto ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya Image caption)

Kembali ke rezim lama

Izin edar produk farmasi, terutama obat-obatan yang biasanya berada dalam kendali BPOM, kini akan diambil alih kembali oleh Kementerian Kesehatan.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan, Senin (25/11).  “Izin edar menurut undang-undang itu memang ada di Kementerian Kesehatan, oleh karena itu akan dibenahi dan saya sudah ketemu sama Ketua Badan POM,” ujar Terawan.

Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala Humas Kementerian Kesehatan Widyawati Rokom yang menyebut kementerian telah mengambil alih kembali proses izin edar obat, yang sebelumnya ditangani oleh Direktorat Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, sesuai amanat Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan pemerintah (PP) No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.

“Intinya semua dikembalikan sesuai UU dan PP 72,” ujar Widyawati.

Jika hal ini dilakukan, menurut Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi maka rezim pengawasan oleh Kemenkes akan kembali ke era lama, manakala BPOM masih berupa Dirjen POM (di bawah Kemenkes).

Pengambil alihan wewenang ini berarti Badan POM hanya fokus pada pengawasan paska pasar (post market control) saja. Sementara, pengawasan prapasar (pre- market control) akan ditangani oleh Kemenkes.

Tulus Abadi mengungkapkan pengawasan prapasar oleh Kemenkes justru akan memperlemah pengawasan dan akan memperlemah perlindungan konsumen. “Yang namanya badan POM di seluruh dunia, itu pengawasannya dari hulu ke hilir, dari pre-market control dan post-market control. Tidak hanya post market control saja,” ujar Tulus.

aa
Petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Sulsel memperlihatkan barang bukti saat rilis kasus pengungkapan obat dan makan ilegal di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (22/11). (Hak atas foto ANTARA FOTO/Arnas Padda Image caption)

Apa sebab harga obat di Indonesia mahal?

Dibandingkan negara-negara lain, harga obat di Indonesia cenderung lebih mahal. Bahkan, Komisi Persaingan Usaha (KPPU) pernah mengungkapkan harga obat di Indonesia merupakan yang termahal di Asia Tenggara.

Hasil studi dari Badan Litbang Kementerian Kesehatan memperlihatkan bahwa harga amoksilin bermerek hanganya 10 kali lipat lebih mahal ketimbang amoksilin generik, meskipun obat itu telah habis masa berlaku patennya.

Hal ini tak lain karena kebijakan harga obat di Indonesia sampai saat ini masih mengacu kepada mekanisme pasar, sehingga di pasaran dapat terlihat bahwa obat yang berbeda nama, tetapi kandungan zat berkhasiat sama atau untuk obat yang sama, dapat terjadi perbedaan harga yang cukup bermakna.

Dalam acara pertemuan dengan pelaku industri farmasi dan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan pada Senin (25/11), Menteri Kesehatan Terawan mengungkap bahwa harga jual produk minyak angin dari pabrik obat tradisional menjadi tinggi karena proses perizinan yang sangat lama.

Padahal, minyak angin itu diproduki dengan biaya produksi yang relatif rendah dan menggunakan bahan baku alami.

Menurut Terawan, proses perizinan yang sangat lama ini akan memakan biaya operasional perusahaan produsen obat tersebut, sementara produk itu belum bisa dijual. Dengan dipangkasnya proses izin edar obat-obatan, lanjutnya, industri akan bisa bersaing dengan menawarkan harga jual yang lebih rendah.

“Saya sebagai Menteri Kesehatan, saya hanya ingin supaya iklim investasi ini menjadi lebih simple, mereka (industri) lebih mudah, biar bersaing di pasar,” ujar Terawan.  “Dengan bersaing di pasar, maka pasar lah yang menentukan harga.

Namun, menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar (IDI), Muhammad Adib Khumaidi, akar masalah mahalnya harga obat di Indonesia bukanlah pada hal perizinan, melainkan mahalnya bahan baku obat dan panjangnya rantai distribusi obat.

“Kami dokter sebagai user [pengguna obat], pada prinsipnya pada saat rantai distribusi obat sampai ke tingkat masyarakat semakin diperpendek, itu semakin mempermudah pelayanan dan kami juga dari sisi profesi akan semakin terbantu untuk memberikan pelayanan yang semakin lebih kepada masyarakat,” ujar Adib.

Sumber: BBC News Indonesia

Tag: