
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kepala KSOP Kelas I Samarinda, Mursidi, menegaskan bahwa seluruh kegiatan pemanduan kapal di wilayah perairan Indonesia wajib tunduk pada aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
Hal itu ditegaskannya merespons mencuatnya kasus pemukulan brutal terhadap Kepala Desa (Kades) Muara Muntai Ilir, Arifadin Nur, beberapa waktu lalu yang diduga terkait polemik kehadiran kapal pandu milik PT Pelindo di wilayah tersebut.
“Kalau kasus Muara Muntai tentunya kita berpegangan pada ketentuan, regulasi yang jelas. Bahwa di pelabuhan itu ada namanya Daerah Wajib Pandu. Dan Daerah Wajib Pandu itu nanti dikelola oleh badan usaha yang telah diberikan pelimpahan oleh kementerian,” ujar Mursidi menjawab wartawan, Kamis (26/6).
Menurutnya, pemanduan kapal adalah salah satu aktivitas teknis yang sangat spesifik dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang pihak. Kegiatan ini memerlukan keahlian profesional, pemenuhan standar keselamatan, serta pelimpahan resmi dari otoritas pelabuhan.
“Pemanduan ini adalah kegiatan yang sangat spesifik karena dibutuhkan keahlian. Tentunya dengan persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan yang berlaku,” terangnya.
Karena itu, pihak yang melakukan pemanduan tanpa memiliki dasar hukum atau pelimpahan resmi dari Kementerian Perhubungan tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga dapat menimbulkan risiko keselamatan pelayaran.
KSOP menekankan bahwa permasalahan yang terjadi di Muara Muntai diduga muncul karena adanya praktik pemanduan oleh pihak yang belum mengantongi pelimpahan resmi. Hal inilah yang menurut Mursidi, menjadi akar persoalan yang harus dipahami semua pihak.
“Saya melihatnya ada beberapa kegiatan yang memang belum mendapatkan pelimpahan tapi sudah melakukan kegiatan pemanduan. Nah, ini tentunya di luar dari ketentuan,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa jika sebuah kegiatan dilakukan di luar wilayah Daerah Wajib Pandu (DWP) atau oleh pihak yang belum mendapat kewenangan resmi, maka kegiatan tersebut ilegal.
“Kalau misalnya di luar ketentuan, ya tentunya ilegal. Itu sudah jelas,” tegasnya.
Mengenai kemungkinan sanksi terhadap pelanggaran ini, Mursidi menyatakan bahwa karena KSOP bukan lembaga penegak hukum, maka penindakan berada di ranah kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya. Namun ia memastikan, apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan pemanduan, maka hal itu bisa dibawa ke jalur hukum.
“Kalau sudah ilegal, mungkin bisa masuk ke ranah hukum. Tapi karena kami ini bukan penegak hukum, maka nanti penegak hukum yang turun tangan,” paparnya.
Di akhir penegasannya, Mursidi mengimbau semua pihak, baik pelaku usaha pelabuhan maupun masyarakat, untuk memahami posisi hukum pemanduan dan tidak mengambil alih peran yang telah diatur oleh negara.
“Saya harap semuanya mengikuti ketentuan yang ada. Itu saja. Tinggal dilihat, dia berada di dalam Daerah Wajib Pandu atau tidak, dan apakah sudah mendapat pelimpahan atau belum,” pungkasnya.
Sebelumnya, kasus kekerasan terhadap Kepala Desa Muara Muntai Ilir terjadi pada Minggu (8/6). Saat itu, Arifadin menggelar acara halal bihalal Idul Adha di rumahnya ketika sekelompok orang tak dikenal menyerbu lokasi.
Mereka membawa balok kayu dan memukul Arifadin serta seorang warga lain bernama Kasdim. Akibat serangan tersebut, korban mengalami luka serius di bagian kepala.
Kejadian ini diduga dipicu oleh penolakan terhadap kedatangan kapal pandu yang dianggap sebagai ancaman terhadap pemandu kapal tradisional di wilayah tersebut.
Massa yang menyerang menuding Arifadin sebagai pihak yang mengundang kapal milik PT Pelindo, meskipun sang kepala desa pun membantah tuduhan itu. Ia menjelaskan kapal tersebut adalah bagian dari program resmi Kementerian Perhubungan dan belum beroperasi.
Polres Kutai Kartanegara telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Penetapan pun dilakukan berdasarkan bukti rekaman video dan keterangan saksi. Tiga pelaku diduga sebagai bagian dari kelompok yang menyerang rumah kepala desa.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Pelayaran