Kesejahteraan Petani di Kaltim: Indikator Makro Positif, tapi Kondisi Riil Perlu Perhatian Serius

aa
Lokakarya dan Panen Perdana Padi Organik di Persawahan Petani Syahrani di Desa Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Rabu (13/11/2019). (Foto Ist)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Meskipun indikator makro kesejahteraan petani seperti NTPP (Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan) menunjukkan tren positif, kondisi riil di lapangan masih memerlukan perhatian serius.

Disparitas ini menciptakan risiko struktural terhadap keberlanjutan usaha tani, karena petani menghadapi tekanan biaya yang tinggi dan ketidakpastian pendapatan di tengah dinamika pembangunan IKN.

Hal ini menegaskan bahwa penguatan indikator makro tidak serta-merta menjamin kesejahteraan petani secara individual, sehingga diperlukan pendekatan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kondisi mikro.

Demikian Potret Petani Kalimantan Timur yang disampaikan Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur dalam Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025, dipublikasikan bulan Desember 2025.

BPS Kaltim melaporkan, indikator makro seperti NTPP Kaltim menunjukkan tren positif dan telah melampaui ambang batas daya tukar (>100), dengan capaian 102,94 pada tahun 2024. Secara teoritis, hal ini menandakan adanya peningkatan daya beli riil petani secara agregat.

Kenaikan ini didukung oleh pertumbuhan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 122,42, yang bergerak lebih cepat dibandingkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 118,93, jika dibandingkan dengan tahun dasar 2018.

Momentum NTPP >100 ini menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan makro seperti stabilisasi harga panen dan dukungan pasar telah memberikan dampak positif di tingkat agregat.

”Namun, capaian makro tersebut tidak sepenuhnya tercermin di tingkat mikro,” ungkap Kepala BPS Kaltim, Dr. Yusniar Juliana, S.ST, MIDEC.

Data Survei Ekonomi Pertanian (SEP) 2024 menunjukkan bahwa 83,21% Unit Usaha Pertanian Perorangan (UTP) melaporkan kondisi ekonomi rumah tangga stagnan atau memburuk, dengan rincian: Sama Saja 56,33%, Menurun 14,15%, dan Sangat Menurun 0,95%. Hanya 28,58% yang melaporkan peningkatan.

”Fakta ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara keberhasilan indikator makro dan realitas mikro, di mana tekanan biaya operasional yang meningkat akibat pembangunan IKN, lonjakan harga input, dan kompetisi tenaga kerja dengan sektor konstruksi menjadi faktor utama yang menggerus marjin keuntungan petani,” kata Yusniar.

Menurut Yusniar, fenomena ini sejalan dengan temuan Simatupang & Siregar (2023) yang menegaskan bahwa inflasi biaya akibat proyek infrastruktur besar memicu kenaikan harga input dan upah tenaga kerja, sehingga menekan daya saing sektor pertanian lokal.

Selain itu, Kusumo & Prasetya (2023) mengonfirmasi bahwa fenomena semiproletarisasi petani akibat proyek besar mendorong diversifikasi kerja yang bersifat terpaksa, mengancam keberlanjutan usaha tani.

”Kajian lain oleh Rahmawati (2020) menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan petani memang berdampak signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di perdesaan, tetapi efektivitasnya

sangat bergantung pada pemerataan pendapatan dan akses terhadap sumber daya produktif,” kutipnya.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: