
NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan, WSD Napitupulu menyatakan, alasan yang disampaikan tiga warga negara asing, masing-masing Leo Bin Simon (39) dan Ho Jin Kiat (40) warga negara Malaysia, serta Jidong Bai (45) warga negara Tiongkok mendokumentasikan objek vital dan kawasan terlarang tanpa izin Satgasmar Ambalat XXVIII di sekitar Sei Pancang, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, Kamis (20/7/2022) janggal dan tidak bisa tidak dipastikan kebenarannya.
Saat diperiksa ketiga warga negara asing (WNA) itu menolak disebut telah melakukan kegiatan mata-mata atau spionase, padahal yang didokumentasikannya objek vital dan kawasan terlarang dalam wilayah negara Indonesia. Ketiganya bersikukuh menyebut sedang melakukan survey lokasi pembangunan jembatan, tapi tak ada dokumen tertulis yang mendukung Malaysia-Indonesia akan membangun jembatan.
Jawaban Yosaf Bin Yusuf seorang warga kota Tarakan yang bermukim di Tawau, Sabah, Malaysia, yang membawa ketiga WNA itu masuk ke Nunukan dan ke ke Sebatik, juga janggal. Yosef mengaku ingin dibangunnya jembatan dari Tawau ke Sebatik meneruskan gagasan orangtuanya.
“Karena jawaban ketiga WNA itu dan Yosaf, janggal dan tidak bisa dipastikan kebenarannya, maka kami dari Imigrasi membuka ruang untuk berkoordinasi dengan satuan-satuan intelijen, misalnya dengan BIN, BAIS, SGI, intel Kodim dan intel Polres untuk memeriksa keempat orang tersebut,” kata WSD Napitupulu pada Niaga.Asia, Jum’at (22/07/2022).
Menurut Napitupulu, Imigrasi masih perlu melakukan pemeriksaan mendalam terhadap ketiga WNA tersebut, karena dalam salah satu handphone mereka memang ditemukan telah mengambil foto dan memvidiokan objek vital dan kawasan terlarang dalam wilayah negara Indonesia tanpa izin.
Kemudian, Leo Bin Simon (39) dan Ho Jin Kiat (40), warga negara Malaysia saat diperiksa, kata Napitupulu, mengaku engineering, bekerja di perusahaan konstruksi milik Tiongkok (China) cabang Kota Kinabalu. Sedangkan Jidong Bai adalah direktur di perusahaan konstruksi tersebut.
“Ketiganya menerangkan datang ke Sebatik untuk survei rencana pembangunan jembatan penghubung antara pulau Sebatik dengan Tawau, Malaysia, tidak bisa dipastikan kebenarannya, karena tidak adanya dokumen kontrak kerja dengan perusahaan konstruksi Tiongkok, ditambah tidak adanya otoritas pemerintah turut serta mendampingi ketigannya saat melakukan kegiatan survei di kawasan perbatasan antara negara,” papar Napitupulu.
Terlepas dari apakah ketiganya mata-mata negara asing atau tidak, Napitupulu memastikan keberadaan WNA itu, dari peraturan keimigrasian dapat diancam dengan perbuatan telah menyalagunakan izin selama tinggal di wilayah negara Indonesia, semula untuk wisata tapi melakukan kegiatan nonwisata.
“Dari itu, terhadap keempat orang tersebut, Imigrasi membuka ruang bagi institusi lain untuk berkoordinasi dan mengenakan peraturan perundang-undangan lain, misalnya telah melakukan kegiatan mata-mata,” pungkasnya.
Penulis: Budi Anshori | Editor: Rachmat Rolau
Tag: Imigrasi