Ketika Pejalan Kaki Lupa Aturan

Oleh: Hayyan Mubarok

Menyeberang jalan bukan pada tempat yang sudah ditentukan sudah jadi budaya di masyarakat. (Foto Istimewa)

Di tengah hiruk-pikuk kota, pejalan kaki seringkali dianggap sebagai pihak yang paling rentan. Tapi sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang justru melangkah tanpa memperhatikan aturan yang ada. Entah karena terburu-buru, merasa “hanya jalan kaki”, atau sekadar kebiasaan, banyak dari pejalan kaki  jadi lupa etika saat berjalan di ruang publik, padahal pelanggaran kecil ini bisa berdampak besar bagi keselamatan bersama.

Misalnya, masih banyak yang sembarangan menyeberang tanpa memperhatikan lampu lalu lintas. Ada juga yang memilih melintasi jalan besar padahal jembatan penyeberangan hanya berjarak beberapa langkah.

Hal-hal seperti ini sering dianggap sepele, padahal bisa membahayakan nyawa sendiri dan orang lain. Ketika aturan dianggap remeh, maka kekacauan bisa menjadi rutinitas yang tak disadari. Fenomena ini menunjukkan adanya kurangnya kesadaran dan empati di ruang bersama.

Pejalan kaki seharusnya menjadi contoh dalam menjaga ketertiban karena merekalah yang paling dekat dengan aturan dasar keselamatan. Tapi dalam praktiknya, mereka justru sering mengabaikan marka jalan, trotoar, bahkan larangan menyeberang. Seolah-olah kenyamanan pribadi lebih penting daripada kepentingan bersama.

Tentu tidak semua pejalan kaki bersikap seenaknya, namun kenyataannya perilaku semacam ini cukup sering kita temui. Ini bukan hanya soal melanggar aturan, tapi juga mencerminkan budaya disiplin yang belum sepenuhnya tumbuh.

Jika dibiarkan, maka anak-anak pun akan tumbuh dengan pola yang salah dari contoh orang dewasa di sekitarnya. Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk mulai menyadari bahwa setiap langkah memiliki konsekuensinya.

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa trotoar, zebra cross, dan lampu lalu lintas bukanlah pajangan. Fasilitas ini dibuat untuk melindungi pejalan kaki dan mengatur alur pergerakan agar tertib dan aman. Namun sayangnya, sebagian besar masyarakat masih menganggapnya sebagai pelengkap yang bisa diabaikan.

Kesadaran akan fungsi ruang publik masih jauh dari kata ideal.

Kebiasaan menyeberang sembarangan juga menimbulkan masalah bagi pengguna jalan lainnya. Banyak pengendara yang harus mengerem mendadak karena pejalan kaki tiba-tiba muncul dari balik kendaraan. Situasi ini berpotensi menimbulkan kecelakaan beruntun atau konflik di jalan. Padahal, jika pejalan kaki mengikuti aturan, risiko seperti ini bisa diminimalisir.

Tak jarang pula trotoar dijadikan tempat berjualan atau parkir kendaraan, sehingga memaksa pejalan kaki turun ke jalan. Tapi, alih-alih memperjuangkan ruangnya, justru banyak dari kita yang memilih untuk “ikut salah” dengan melangkah di bahu jalan tanpa protes. Ini menggambarkan betapa lemahnya kepedulian kita terhadap hak dan keamanan bersama.

Seharusnya, pejalan kaki punya posisi strategis dalam menuntut ruang yang aman, bukan malah menyesuaikan diri pada kekacauan. Sudah saatnya kita menyadari bahwa menjadi pejalan kaki bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Justru karena berada di posisi yang rentan, pejalan kaki perlu menjadi teladan dalam menaati aturan.

Disiplin bukan hanya tugas pengendara atau aparat, tapi tanggung jawab bersama dalam menjaga keteraturan ruang publik. Taat aturan bukan soal takut ditilang, tapi bentuk penghargaan pada nyawa dan ketertiban.

Langkah kecil yang tertib bisa menciptakan perubahan besar di jalanan kita. Masyarakat yang sadar aturan adalah cerminan dari bangsa yang matang dan peduli. Jadi, jangan biarkan kebiasaan seenaknya melangkah terus menjadi budaya. Mari sama-sama menjadi pejalan kaki yang sadar, santun, dan bijak melangkah.

*) Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Tag: