Ketimpangan Penerapan Kewajiban Royalti SDA Berpotensi Merugikan Perusahaan dan Daerah

Anggota Komisi VI Herman Khaeron dalam agenda Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI ke Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Senin (23/6/2025). Foto : Saum/Andri

PALEMBANG.NIAGA.ASIA – Anggota Komisi VI Herman Khaeron secara terbuka mempertanyakan soal PT Bukit Asam (PTBA) dikenai tarif royalti yang dinilai memberatkan, sementara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tidak dikenakan beban serupa.

Ketimpangan ini berpotensi merugikan bukan hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat dan pemerintah daerah yang bergantung pada kontribusi sektor energi dan mineral.

Demikian Disampaikan dalam agenda Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI ke Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Senin (23/6/2025).

“Kalau PTBA dikenai kenaikan tarif royalti yang cukup menggerus pendapatan korporasi, kenapa (PT) Inalum tidak? Padahal keduanya sama-sama menggali tanah Indonesia,” ujar Herman saat ditemui oleh Parlementaria di sela-sela kunjungan.

Diketahui, PTBA, yang bergerak di sektor batu bara dan merupakan salah satu penopang energi nasional, menghadapi tekanan tambahan akibat kebijakan fiskal pusat.

“Yang satu menggali tanah untuk batu bara sebagai energi, yang satu menggali tanah untuk jadi aluminium tapi kenapa beban fiskalnya timpang? Ini harus dikaji ulang. Negara tidak boleh pilih kasih,” ungkapnya.

Kebijakan ini, lanjut Herman, menciptakan distorsi di tengah situasi ekonomi nasional yang sedang melandai. Ia menilai perlu ada keadilan dalam perlakuan terhadap pelaku industri, terlebih mereka yang berstatus BUMN dan berkontribusi strategis terhadap energi nasional dan pendapatan negara.

Pentingnya Standar yang Adil

Sorotan ini mencuat di tengah diskusi mengenai kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian akibat perang dagang AS, konflik Iran-Israel, dan perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan yang mengelola SDA Indonesia harus mendapat perlindungan dan perlakuan kebijakan yang adil untuk tetap berkontribusi maksimal.

“Inalum tidak dikenai beban royalti yang signifikan padahal profitnya besar dan pasarnya juga strategis. Sementara PTBA dipukul dua kali, oleh pasar dan oleh kebijakan. Kita harus mendorong kebijakan yang ‘fair’ dan berbasis data objektif,” imbuh Herman.

Lebih lanjut, jelasnya, Komisi VI DPR berencana membawa temuan ini ke pembahasan lintas kementerian dan lembaga, termasuk kemungkinan pembahasan dalam rapat gabungan antar-komisi DPR RI. Menurut Herman, kebijakan royalti harus mempertimbangkan keunikan sektor, kondisi lokal, dan daya dukung perusahaan dalam jangka panjang.

“Kalau beban fiskal justru memperlemah BUMN energi seperti PTBA, itu artinya kita tidak sedang membangun ketahanan energi nasional, tapi justru melemahkannya,” pungkas Politisi Fraksi Partai Demokrat.

Sumber: Humas DPR RI | Editor: Intoniswan

Tag: