Kisah Penjual Pentol di Samarinda Terkena Stroke, Kini Hanya Dirawat Putrinya

Sutardi saat ditemui di kamar indekosnya di Jalan Lambung Mangkurat Gang Haji Syahdan Thoyib, Selasa 4 Oktober 2022 (niaga.asia/Saud Rosadi)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Kondisi Sutardi, 64 tahun, memprihatinkan. Dia tidak lagi bisa mencari penghasilan usai mengalami stroke sejak Januari 2020 lalu. Hidupnya nyaris terlantar. Bahkan dia dikabarkan ditinggalkan istrinya. Keinginannya kini hanya pulang ke kampung halamannya Mojokerto, Jawa Timur.

niaga.asia berkunjung ke kediaman Sutardi Selasa siang. Alamatnya di bangunan indekos dua lantai Jalan Lambung Mangkurat RT 27 Gang Syahdan Thoyib, Kelurahan Pelita, Samarinda.

Sutardi tinggal di lantai dua. Kamarnya hanya berukuran sekitar 5×5 meter dari plywood. Di dalamnya terlihat berantakan dan hanya ada satu ventilasi udara. Selain tilam tempat Sutardi tidur, juga ada tumpukan pakaian kotor, plastik bekas, hingga botol bekas air mineral ukuran 1,5 liter.

Di kamar yang hanya seluas itu, Sutardi dirawat putri kandungnya, Eren Kristiana Dinar Betti, 16 tahun. Eren, yang kini siswi kelas 1 sekolah menengah atas swasta itu bercerita tentang kondisi ayahnya, Sutardi.

Kondisi Sutardi sendiri sudah nyaris sulit berbicara. Sesekali dia terlihat tidak berdaya ketika berusaha menggerakkan tangan kanannya.

“Bapak mulai sakit stroke awal pandemi kemarin, sekitar Januari 2020. Ada juga tekanan (darah tinggi) dan diabetes,” kata Eren mengawali perbincangan bersama niaga.asia

Menurut Eren, ibunya berada di Balikpapan dan hanya sesekali datang menemuinya apabila sang ibu datang ke Samarinda. Mereka bukanlah warga baru di RT 27.

“Dulu tinggal di kontrakan di gang ini juga. Kemudian pindah ke kos ini,” ujar Eren.

Ayahnya, Sutardi, dulu tinggal di kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, menikah dengan ibunya hingga pindah ke Samarinda. Pekerjaan Sutardi sebelumnya adalah pekerja bangunan, hingga akhirnya berdagang pentol rebus. Stroke yang dialami Sutardi nyaris membuyarkan segalanya.

“Bapak aslinya lahir di Mojokerto. Karena keluarga Bapak semua di sana,” ungkap Eren.

Situasinya menjadi sulit ketika Sutardi tidak lagi bisa mencari nafkah lantaran kaki dan tangannya terkena stroke. Belum lagi bicara urusan makan sehari-hari yang lebih sering sekadar bisa memakan roti. Ditambah lagi soal bayaran bulanan kos.

Apalagi, Eren harus tetap bersekolah. Tetangga yang peduli sesekali membantu sesuai kemampuan.

“Ibu juga kirim uang ke saya. Kalau tidak begitu dan ibu ikut jagain (Bapak), tidak ada yang cari uang?” Eren menerangkan.

Eren sendiri punya dua kakak dan satu adik. Kakak pertamanya ada di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kakak keduanya berada di luar Indonesia menjadi tenaga kerja. Sementara adiknya tinggal bersama ibunya.

“Eren juga bersyukur Bapak bisa ditinggal kalau Eren sekolah, atau kerjain tugas sekolah dengan teman. Bapak tidak mau juga merepotkan orang. Yang bisa dia lakukan, dia lakuin sendiri,” Eren menambahkan.

niaga.asia sempat melihat kartu identitas terakhir Sutardi sebagai warga kabupaten Banjar. Dia kelahiran Mojokerto 6 Juni 1958. Alamat tinggalnya di Jalan Sekumpul kelurahan Tanjung Rema Darat, kecamatan Martapura. Tertera pekerjaan Sutardi sebagai pedagang.

Eren berharap dia dan ayahnya juga, bisa pulang ke Mojokerto. Di mana keluarga ayahnya pernah mengungkapkan akan merawat Sutardi apabila bisa pulang kembali ke Mojokerto.

“Kalau tidak bisa pulang, paling tidak bisa pindah ke tempat yang lebih layak. Supaya bisa belajar dengan nyaman,” Eren mengakhiri sambil mengusap air matanya.

Penulis : Saud Rosadi | Editor : Saud Rosadi

Tag: