Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Batalkan Pembahasan & Pengesahan RUU Minerba

Ilustrasi tambang batubara (foto : istimewa/net)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Di tengah pandemi Covid-19 yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, DPR RI di masa sidang III kali ini, menyatakan akan tetap melakukan pembahasan dan persetujuan terhadap sejumlah RUU (Rancangan Undang-undang) yang menjadi kontroversi sekaligus mendapat penolakan publik selama ini. Misalnya, RUU Cipta Kerja, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, termasuk RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Publik semakin terkejut dengan beredarnya surat undangan Rapat Kerja Komisi VII DPR RI yang akan dilangsungkan pada Rabu 8 April 2020 minggu depan secara Protokol Waspada Covid-19 (secara fisik dan virtual meeting) dengan Jajaran Komisi dan 5 Menteri (Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral/ESDM, Menteri Dalam Negeri/Mendagri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia/Menkumham, Menteri Perindustrian/Menperin dan Menteri Keuangan/Menkeu) pada 8 April 2020 di Gedung DPR untuk mengagendakan Pembicaraan Tingkat Satu (I) yakni untuk Pengambilan Keputusan RUU Tentang Pertambangan Minerba.

“Kami, sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Indonesia mendesak DPR RI untuk MENUNDA PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RUU Minerba (termasuk RUU Cipta Kerja, RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan),” kata salah seorang perwakilan KMS, sekaligus Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang, dalam keterangan tertulis diterima Niaga Asia, Minggu (5/4).

Dijelaskan, RUU Pertambangan Minerba harus ditunda pembahasan dan pengesahannya, dikarenakan sejumlah perhatian penting:

Seharusnya seluruh elemen bangsa fokus pada penanganan Covid-19, termasuk Komisi VII DPR RI. Saat ini, yang dibutuhkan publik justru bagaimana DPR dapat memastikan perlindungan bagi masyarakat miskin dan marjinal yang terdampak pandemik Covid-19.

Misalnya, memastikan pelaksanaan pemberian diskon tarif PLN untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, memastikan ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM), ketersediaan Gas LPG, termasuk perlu adanya distribusi LPG 3 Kg gratis untuk masyarakat miskin terdampak dan rentan terutama bagi warga di wilayah terdampak pertambangan selama ini yg menjadi korban dua kali, korban dampak tambang dan korban pandemik.

“Bukan malah mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Minerba, yang ditengarai justru menguntungkan korporasi saja,” ujar Rupang.

Secara proses, pembahasan RUU Minerba di Komisi VII DPR RI sangat tertutup dan minim partisipasi publik. Selain di Komisi VII pembahasan di Panja juga demikian. Keterlibatan publik sangat minim dalam Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU), dialog-dialog publik, maupun forum resmi lainnya yang dilakukan Panja RUU Minerba dengan mengundang stakeholder, khususnya masyarakat terdampak di sekitar tambang, Pemerintah Daerah penghasil SDA, Akademisi, pemerhati energi, Organisasi Masyarakat Sipil, Pemerintah Daerah dan lainnya.

“Termasuk keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU yang berkaitan dengan SDA sangatlah minim,” ungkap Rupang.

Informasi yang diterima publik, Panja RUU Minerba telah menyelesaikan pembahasan 938 DIM RUU Minerba dalam sidang-sidang tertutup, di kurun waktu beberapa hari saja.

“Pertanyaannya, dimana kah transparansi dan partisipasi publik sebagaimana yang telah disyaratkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Minimnya aspirasi dan kontrol publik di masa pendemik Covid-19 ini dapat menimbulkan kecurigaan akan rawan terjadi ‘deal-deal’ di belakang layar yang bisa saja hanya untuk kepentingan segelintir orang,” sebut Rupang.

Rupang menegaskan, Komisi VII DPR RI tidak boleh memanfaatkan masa pandemik Covid-19, dimana orang dilarang mengadakan pertemuan, untuk membahas dan mengesahkan RUU Minerba.

“Jika Komisi VII DPR RI, sengaja memanfaatkan perhatian publik yang sekarang ini bahu membahu mengadakan donasi penggalangan dana dan tenaga, baik untuk membantu kebutuhan medis, maupun membantu masyarakat kecil yang terdampak,” terang Rupang.

“Karena itu, jika DPR RI justru mempercepat pengesahan RUU MInerba, maka patut diduga DPR memang sudah kehilangan hati nurani dan melanggar akuntabilitas dan hak partisipasi publik. Keputusan yg diambil sepihak tanpa partisipasi publik ini adalah pelanggaran atas hak-hak partisipasi publik, keterbukaan informasi, dan keadilan sosial,” tegas Rupang.

Patut diduga, percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba ini karna berkaitan dengan perpanjangan sejumlah perusahaan besar pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), yang akan habis masa berlakunya.

Apalagi RUU Minerba ini, lanjut Rupang, momentumnya bertepatan dengan pembahasan RUU Cipta Kerja maupun terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang secara substansi hampir sama yakni memuluskan perpanjangan otomatis sejumlah PKP2B perusahaan besar batubara.

“Jika dugaan ini benar, DPR lebih peduli dan berpihak terhadap nasib perusahaan besar pemegang konsesi tambang PKP2B dibandingkan nasib tenaga medis, pasien korban positip Covid, maupun masyarakat terdampak yang saat ini berjuang melawan Covid-19,” jelas Rupang lagim

Belum lagi, terdapat pasal-pasal RUU Minerba lainnya yang masih bermasalah, dan tidak mencerminkan keselamatan rakyat, kedaulatan negara sebagaimana mandat konstitusi, hak asasi manusia, hak atas lingkungan hidup yg baik dan sehat dan prinsip keberlanjutan.

Misalnya, pengistimewaan terhadap Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan (KK/PKP2B) yang kontraknya akan habis, untuk melakukan perpanjangan tanpa harus melalui lelang dengan luasan yang disesuaikan rencana kerja, serta insentif royalti yang bisa menjadi nol, dan lain sebagainya.

Juga, hilangnya pasal pidana yg menjangkau pejabat negara yg dapat melegalisasi korupsi perizinan pertambangan dan penyalahgunaan wewenang dapat terus berlangsung;
Sangat pro energi kotor batubara dan pemberian insentif berlebihan bagi over-eksploitasi sumber daya alam, yang cenderung tidak memperhatikan aspek kepentingan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup; maupun bagi pengembangan energi terbarukan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan ;
Tidak diberikannya perlindungan dan ruang atas hak veto masyarakat, yakni hak untuk mendapatkan informasi yang memadai dan mengatakan tidak pada investasi serta hak-hak masyarakat adat, hingga aspek keselamatan warga serta aspek sosial ekonomi lainnya yang berdampak pada masyarakat. Serta berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang dianggap menghalang- halangi kegiatan pertambangan.

“Mengabaikan hak perempuan, tidak menjamin hak partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di wilayah kelola mereka. Padahal perempuan mengalami dampak berbeda dan lebih berat saat wilayah kelolanya dijadinya wilayah pertambangan. Perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan akibat pencemaran dari aktivitas pertambangan, seperti ganguan reproduksi, maupun kesehatan pernafasan,” papar Rupang.

Selain itu RUU ini juga tidak menjadikan asas keadilan gender, sebagai asas dalam RUU ini. Padahal Keadilan Gender sendiri merupakan arahan kebijakan pembangunan nasional.
RUU Minerba ini juga akan menghilangkan kedaulatan rakyat atas wilayah kelola rakyat dan kedaulatan atas pangan, sementara pemerintah hingga saat ini abai terhadap kewajbannya menjamin keselamatan warga atas pangan dan kesehatan.

Keterancaman warga atas wabah – wabah penyakit baru, yang ditimbulkan akibat perubahan cuaca ekstrim akibat dari pembukaan lahan secara masif untuk pertambangan. “Hilangnya budaya pengobatan alami secara tradisional, akibat dari pembukaan lahan untuk pertambangan,” sebut Rupang.

Publik selalu mengingatkan DPR, bahwa RUU Minerba ini, adalah RUU yang menjadi kontroversi bahkan berkali-kali ditolak oleh Publik. Sebut saja dalam rangkaian gelombang aksi massa #ReformasiDikorupsi sepanjang pertengahan tahun 2019 yang lalu.

Saat ini, negara dalam ancaman wabah COVID 19, dan pemerintah abai terhadap keselamatan warganya. Pemerintah tidak mau merealokasi anggaran belanja kegiatan-kegiatan yang tidak penting, untuk penanganan wabah COVID 19 atau penanganan wabah COVID 19 ini bukan menjadi prioritas pemerintah, sehingga penangganannya masih setengah hati.

“Dari ratusan investasi yang masuk ke negara ini masa iya tidak sanggup untuk menalangi antisipasi penanganan wabah,” kata Rupang lagi.

“Ada dana APBN sebesar Rp89,40 triliun yang akan di gunakan untuk pembangunan Ibu Kota Baru bisa di manfaatkan untuk keselamatan rakyat menghadapi wabah virus corona, ketimbang harus membebankan warganya,” jelasnya.

Ketidaksiapan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan warganya di saat negara mengalami suatu wabah, menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa memberikan jaminan keselamatan, kesehatan, dan kedaulatan pangan. Pemerintah hanya mementingkan investasi yang tidak memberikan kontribusi dalam penanganan suatu wabah, dan kesejahteraan rakyatnya.

“Sekali lagi, kedaulatan masyarakat atas wilayah kelola rakyat akan meningkatkan pangan negara dan keberlangsungan hidup warga. Berikan akses seluas – luasnya kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang telah lama di kelola oleh masyarakat, bukan hanya dimanfaatkan pada produksi konsumsi kapitalis tanpa batas dan tidak memikirkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terbatas di atas bumi ini,” tegas Rupang.

“Untuk itu, kami menyerukan kapada Komisi VII dan DPR RI, agar membatalkan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba, RUU Omnibus Law, dan RUU IKN! Fokuslah pada penanganan pendemik Covid-19!” demikian Rupang. (006)

Tag: