Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Rancangan Revisi Perda RTRWP Kaltim

Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim (kiri) menolak Rancangan Revisi Perda RTRWP Kaltim 2022 – 2042 saat menghadiri FGD hari ini, Kamis, 6 Oktober 2022 di Balikpapan. (Foto Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim menolak Rancangan Revisi Perda RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) Kaltim 2022 – 2042 yang disampaikan pada FGD hari ini, Kamis, 6 Oktober 2022 di Balikpapan.

Selain itu memberikan catatan serius kepada Pemerintah dan DPRD Provinsi Kaltim untuk menghentikan seluruh proses dan pembahasan revisi ini hingga adanya pelibatan aktif dari seluruh masyarakat yang menjadi korban dari adanya RTRWP Kaltim mulai dari perumusan dan pembahasannya.

Dalam Focus Group Discussion Revisi Ranperda RTRWP di Balikpapan,Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim yang terdiri dari WALHI Kaltim, Jatam Kaltim, Pokja 30, dan AMAN Kaltim mengutarakan kekecewaannya dengan draf rancangan perda RTRWP Kaltim yang saat ini lagi dibahas.

Menurut Koalisi Masyarakat Kaltim, sejak tahun 2016 mereka  telah mengkritisi Perda RTRWP Kaltim Nomor 1 Tahun 2016 sebelum disahkan, tapi tidak didengarkan. Setelah 5 tahun berlalu, hal ini kembali terulang dalam rangkaian peninjauan atas RTRWP Kaltim.

“Bahkan lebih parahnya, draf rancangan perda revisi ini dibuat secara instan dan tak melibatkan seluruh masyarakat Kalimantan Timur dalam perumusan hingga pembahasannya,” tegas mereka.

Anggota koalisi, Buyung Marajo, Koordinator Pokja 30 Kaltim menilai bahwa perumusan Raperda RTRWP Kaltim cacat prosedural maupun subtansial. Sebab masih menggunakan konsideran Undang-Undang Cipta Kerja dalam menyusun Raperda RTRWP ini, itu  melawan atau membangkang dari Putusan MK 91.

“Mandat Putusan MK 91 adalah tidak boleh membuat regulasi turunan dari UU Cipta Kerja sampai adanya perbaikan,” ungkapnya.

Melalui Ketua BPH AMAN Kaltim, Saiduan Nyuk mengungkapkan, AMAN menginginkan  keterlibatan publik dalam menyusun revisi RTRWP Kaltim, tapi waktu yang diberikan tidak layak beserta kelengkapan dokumennya. Pasalnya undangan untuk mengikuti FGD ini baru diterima pada Minggu, 2 Oktober 2022 dan kami tidak diberikan dokumen KLHS.

“Artinya kami dipaksa mempelajari, mengerti, dan memahami 501 halaman Draf Raperda revisi RTRWP Kaltim dalam jangka waktu 4 hari,” ungkapnya.

Padahal, lanjutnya, yang dibahas berkaitan langsung dengan penataan ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat Kaltim kedepan, dimana AMAN Kaltim sendiri pun juga harus mempercakapkannya dengan 72 Komunitas anggota masyarakat adat tersebar di 7 kabupaten di Kaltim.

“Ini menunjukkan, tim perumus itu tidak melakukan pelibatan aktif dari publik sejak perumusan hingga pembahasan,” imbuhnya.

Selanjutnya, Eta dari Jatam Kaltim,mengungkapkan bahwa, secara substansi Raperda ini disusun dengan kajian yang tidak menggunakan pendekatan prinsip keadilan ruang. Hal ini terbukti dari pembagian pola ruang yang tidak proporsional antara  fungsi lindung dan fungsi budidaya.

“Raperda RTRWP yang mengalokasi hanya 2 juta sekian untuk fungsi lindung, sedangkan unutk fungsi budidaya sebesar 12 juta sekian. Apalagi, melihat lampiran peta kawasan pertambangan mineral dan batubara, hampir seluruh wilayah Provinsi Kaltim dialokasikan untuk pertambangan,” ungkapnya.

“Alih-alih menghitung kemampuan ruang Kaltim secara proporsional, Raperda berencana menguras habis kempuan daya dukung dan daya tamping lingkungan Kaltim,” sambungnya.

Apabila ditelusur lebih jauh, kata Eta, bahkan terjadi penyusutan kawasan lindung Provinsi Kaltim yang signifikan dibandingkan dengan yang telah dialokasikan dalam Perda RTRWP sebelumnya.

Sementara Direktur WALHI KAltim, Yohana Tiko mengungkapkan kekhawatirannya jika pembahasan Raperda RTRWP Kaltim ini tetap dipaksakan sampai pengesahan, maka dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan menjadi senjata pemusnah bagi wilayah kelola rakyat dan ruang hidup Kaltim.

“ Pembagian pola ruang yang dominan pada fungsi budidaya di Provinsi Kaltim akan menggiring provinsi ini menuju kehancuran sosio – ekologis kedepan,” imbuhnya.

Draf revisi rancangan perda RTRWP ini justru bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo di KTT perubahan iklim, Paris 7 (tujuh) tahun yang lalu terkait komitmen Indonesia mengawal agar suhu tidak melebihi dari 1,5 derajat celcius.

Sementara problem Kaltim adalah provinsi ini yang paling tinggi dalam pelepasan karbon, makanya tidak heran di tahun 2021 kaltim menduduki peringkat pertama tingginya suhu di kisaran 38,4 derajat celsius, hal itu walhi kaltim yakini diakibatkan pembukaan secara massif. Maka tidak mengherankan, 60% bencana yang terjadi di Kaltim adalah banjir.

“Banjir ini, akumulasi dari tidak adanya keadilan ruang hidup dalam peruntukan tata ruang yang sebelumnya di kaltim,” tegasnya.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: