
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menekankan pentingnya pengawasan tidak hanya di sekolah namun juga perguruan tinggi, menyusul maraknya kasus tindak pelecehan seksual hingga kekerasan yang terjadi di lingkungan kampus.
Hetifah menerangkan, kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan.
Namun kenyataannya kasus kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun perundungan masih terjadi dan menimbulkan trauma, yang berdampak pada prestasi serta masa depan korban.
“Kekerasan di kampus dapat terjadi antar mahasiswa, antara dosen dan mahasiswa, maupun melibatkan tenaga kependidikan,” kata Hetifah saat bicara di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Awang Long Samarinda, Jalan Perjuangan, Sambutan, Jumat 5 Desember 2025.
Dijelaskan, kekerasan juga bisa berupa diskriminasi, pelecehan berbasis gender, hingga intimidasi yang mengekang kebebasan akademik.
Untuk mencegah tindakan kekerasan di lingkungan kampus, saat ini Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI memperkuat implementasi regulasi itu melalui kebijakan pembentukan Pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT).
“Regulasi ini menyangkut prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang menjamin hak setiap individu untuk bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, bahkan di perguruan tinggi,” ujar Hetifah.
Menurut Hetifah, kasus kekerasan di Kalimantan Timur masih marak terjadi. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, (Simfoni PPA) mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim. Enam persen di antaranya terjadi di perguruan tinggi.

Maraknya kasus kekerasan yang terjadi
di dunia pendidikan menggambarkan
bahwa pembentukan regulasi bukanlah satu-satunya solusi. Maka dari itu, diperlukan peran semua pihak dalam memantau tindak kekerasan di lingkungan kampus dan lainnya.
“Harus ada peran mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan dan masyarakat sekitar untuk mengawasi dan mengevaluasi kegiatan perkuliahan dan proses transfer ilmu pengetahuan yang rilaksanakan di kampus,” pesan Hetifah mengingatkan.
Sementara, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur (Kaltim) Armin mengatakan, upaya pencegahan kekerasan tidak hanya digalakkan di sekolah-sekolah, namun juga menyasar ke lingkungan kampus.
“Kami mengapresiasi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Awang Long yang telah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (TPPKS) maupun kampus lainnya di Kalimantan Timur,” kata Armin.
Ditegaskan Armin, pencegahan kekerasan merupakan tanggung jawab besar yang harus dipikul bersama oleh pemerintah, perguruan tinggi, dosen, tenaga kependidikan, hingga para mahasiswa.
Saat ini pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, sebagai payung hukum komprehensif.
Peraturan tersebut mengatur mekanisme jelas, mulai dari pencegahan, edukasi, sistem pelaporan yang nyaman, hingga penindakan tanpa kompromi.
“Kami mendorong seluruh perguruan tinggi di Kaltim termasuk STIH, untuk serius mengimplementasikan aturan tersebut,” demikian Armin.
Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi
Tag: DPR RIhetifahPerguruan TinggiPerlindungan Perempuan