Kondisi DAS Karang Mumus Paling Kritis di Kalimantan Timur

das
Pondasi jembatan yang dibangun Pemerintah Kota Samarinda memakan badan Sungai Karang Mumus. (intoniswan)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Daerah aliran sungai (DAS) Karang Mumus dalam kondisi paling kritis (terkritis) di Kalimantan Timur. Permasalah Sungai Karang Mumus (SKM) secara kasat mata memang pada area badan atau aliran sungainya. Namun sesungguhnya permasalahannya jauh lebih besar dari itu. Masalah SKM ada pada DAS-nya.

Demikian penggalan makalah Yustinus Sapto Hardjanto, Co Founder SeSuKaMu (Sekolah Sungai Karang Mumus) berjudul Sungai Karang Mumus “ Adab Air Diterpa Gelombang Jaran Goyang” yang akan disampaikan di  Seminar Lingkungan  bertajuk “Potret Hidup Bantaran Sungai Karang Mumus” yang akan diselenggarakan IMAPA (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Mulawarman, 2 April 2018.

Menurut Yustinus, secara umum penggunaan lahan (ruang) di DAS Karang Mumus tidak berkesesuaian. Daerah hulu yang merupakan daerah lindung, area tangkapan air yang mestinya berupa kawasan hutan atau lahan dengan tutupan vegetasi yang rapat, digunakan untuk kepentingan pertambangan dan perladangan/kebun terbuka.  “Akibatnya koefisen air permukaan yang tinggi saat musim hujan akan menimbulkan erosi,” ungkapnya.

Transport sedimen yang besar membuat sungai kemudian menjadi dangkal karena endapan lumpur.  Selain itu rendahnya resapan air hujan di bagian hulu akan membuat kehilangan sumber atau mata air yang akan menjaga pasokan air di musim kemarau.

Pada bagian tengah DAS Karang Mumus, konversi lahan juga terjadi pada area-area lahan basah, rawa atau kolam retensi alamiahnya.Rawa diuruk untuk permukiman, lahan basah dikonversi menjadi lahan kering (kebun atau ladang). “Sungai kehilangan area penampungan air, sementara di kanan-kirinya, limpasan air permukaan saat hujan langsung masuk ke sungai sehingga sungai meluap. Selain itu air limpasan juga akan membawa kotoran juga residu dari pertanian kimia yang bisa mencemari air sungai atau menurunkan kualitas air sungai,” kata Yustinus.

Pada bagian tengah, SKM kehilangan zona perlindungan terakhirnya yaitu riparian.Tutupan vegetasi yang menjadi ekosistem penghubung antara air dan daratan telah hilang.Selain hilangnya fungsi infiltasi dan filtrasi, kehilangan riparian juga berarti kehilangan kekayaan biodiversivity.Sungai Karang Mumus kehlangan aneka tumbuhan dan faunanya.Baik yang didarat maupun di dalam air.

Di bagian hilir, permukaan lahan di sekitar sungai umumnya tertutup oleh permukaan solid atau kedap air. Lahan ditutupi oleh berbagai fasilitas atau infrastruktur berbahan aspal dan semen serta atap. Ruang resapan air menjadi sangat sedikit.Dan limpasan air hujan secara efektif masuk semua ke sungai melalui saluran drainase.

Pada bagian hilir, Sungai Karang Mumus telah kehilangan system filtrasi alam karena kanan kiri sungai telah dibeton. Maka air limpasan akan masuk secara langsung lewat saluran drainase. Tak heran jika kemudian di bagian hilir, ikan yang berkembang biak adalah Ikan Cicak atau Ikan Sapu-Sapu. Sementara ikan lainnya cenderung menghilang akibat minimnya pasokan nutrisi alamiahnya

Dikatakan Yustinus, terkait dengan SKM sebagai ekosistem essensial untuk menyediakan pasokan air baku, maka yang terpenting adalah soal kualitas, kuantitas dan kontinuitas pasokan airnya.  Dan selama ini pendekatan pada masalah keairan di Sungai Karang Mumus didekati dengan paradigma River Development.

“Pendekatan ini bertumpu pada teknik hidrolika dan cenderung mengotak-atik masalah hanya di aliran sungainya.Maka yang terkenal adalah istilah normalisasi, lewat program relokasi dan kemudian penurapan sungai, pelurusan sungai, pengerukan sungai dan lain sebagainya,” paparnya.

Restorasi Sangat Mendesak

Yustinus mengungkapkan, semua pendekatan selama ini  adalah pendekatan yang bersifat sementara dan selalu butuh biaya atau anggaran rutin. Dan pendekatan ini tidak akan menjamin perbaikan kualitas, kuantitas dan kontinuitas air karena pendekatan ini tidak bernuansa konservasi air dan tanah (lahan).

Padahal, lanjutnya, perbaikan SKM harus diletakkan dalam konteks DAS. .Untuk melakukan pengelolaan air secara terintegratif bukan hanya membebaskan diri dari banjir, maka perlu dilakukan restorasi.

“Restorasi secara sederhana bisa diartikan sebagai memulihkan sungai menuju pada kondisi alamiahnya. Kondisi yang akan memungkinkan siklus hidologi pada DAS  tidak akan terganggu. “Restorasi sungai sendiri menyangkut restorasi ekosistem, restorasi hidrologi, restorasi social-ekonomi-kultural dan restorasi kelembagaan,” ujarnya.

Restorasi menjadi suatu pilihan yang sangat mendesak dilakukan di DAS Karang Mumus apabila pemangku kepentingan mau mengakui bahwa SKM  bukan hanya sungai bermasalah, melainkan sungai yang rusak.

Tanda kerusakannya jelas yaitu, hampir sebagian besar sempadan sungainya sudah terbangun. Sebaran sampah dan limbah di permukaan airnya merata dari hulu hingga hilir. Kepunahan, banyak vegetasi asli sungai yang tidak lagi bisa ditemui di sepanjang aliran sungainya, banyak ikan aslinya tidak ada lagi dan juga banyak binatang yang biasa hidup disekitar sungai sudah tidak ada lagi. Air SKM dalam beberapa tahun terakhir ini selalu dinyatakan tercemar berat. Penumpukan sedimen yang luas biasa sehingga sungai cepat menjadi dangkal.

Sungai Karang Mumus menjadi bencana umum karena sungai yang dimanfaatkan oleh banyak orang, banyak pihak ini cenderung hanya diekploitasi namun tidak jelas siapa yang bertanggungjawab untuk menjaga dan merawatnya.

“Dengan menyatakan SKM sebagai sungai rusak maka muncul konsekwensi yaitu adanya pihak-pihak yang merusak. Karena rusak selalu disebabkan oleh adanya pihak perusak. Dengan demikian akan ada subyeknya. Dan subyek ini bisa jadi adalah subyek hukum. Maka para perusaknya akan bisa dihadapkan pada hukum,” kata Yustinus. (001)