Konflik Nagorno-Karabakh

TIDAK ada yang tahu berapa banyak orang yang telah kehilangan nyawa dalam perang memperebutkan wilayah sengketa Nagorno-Karabakh.

Presiden Rusia baru-baru ini mengatakan bahwa 5.000 orang telah tewas – baik dari pihak tentara dan warga sipil.

Berikut ini adalah cerita dari beberapa keluarga yang kehilangan putra mereka dalam pertempuran tersebut kepada Rayhan Demytrie, Koresponden BBC yang dalam bahasa Indonesia dipublish BBC News Indonesia.

“Ini sulit bagi saya, tetapi saya bangga bahwa darah anak saya tumpah di tanah kami,” kata Mushkenaz Haziyeva melalui telepon dari rumahnya di kota Kurdamir di Azerbaijan.

Putra Mushkenaz, Ziyadhan Aliyev, 24 tahun, belajar pemrograman komputer dan suka membaca buku sejarah.

Hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai dinas militernya berakhir, tapi pada 1 Oktober lalu dia meninggal, selang beberapa hari setelah konflik dimulai.

Ziyadhan tewas dalam pertempuran untuk merebut kembali desa Talish.

Keluarganya berasal dari sebuah desa bernama Soltanli, lebih jauh ke selatan di wilayah Jabrayil.

Mereka dan ratusan ribu etnis Azerbaijan lainnya, terpaksa meninggalkan rumah ketika wilayah itu jatuh ke tangan orang-orang Armenia pada 1990-an.

Ayah Ziyadhan bertempur dalam konflik Nagorno-Karabakh pertama itu.

“Jika Anda mencampur air dengan tanah, Anda mendapatkan kotoran. Jika Anda mencampur tanah dengan darah, Anda mendapatkan Tanah Air,” kata ibunya.

Konflik Azerbaijan-Armenia kembali berkobar sejak 27 September lalu.

Azerbaijan tidak memberikan rincian berapa banyak warganya yang tewas, tetapi ada banyak laporan pemakaman dan gambar kuburan baru di pemakaman militer.

Sargis Hakopyan menggambar potret dirinya dan almarhum ibunya; Fariz Gasanov bersama anak-anaknya di sebelah kanan. (Foto BBC)

Secara resmi, lebih dari 1.100 prajurit Armenia diketahui tewas. Mayoritas tentara Armenia yang tewas dalam konflik adalah rekrutan muda, yang lahir setelah tahun 2000.

Lebih dari 130 warga sipil tewas di kedua sisi.

Soltanli termasuk di antara lebih dari 100 desa yang baru-baru ini direbut kembali oleh tentara Azerbaijan dan Mushkenaz Haziyeva percaya aksi militer adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali wilayah itu.

“Kami akan kembali ke sana, kami akan membangun rumah dan sekolah, menumbuhkan kebun kami. Di satu sisi hati saya berdarah karena saya telah kehilangan putra saya, tetapi di sisi lain saya sangat gembira karena akhirnya kami tidak perlu menjadi pengungsi lagi.”

Konflik ini terjadi ketika pandemi virus corona terjadi di kedua negara.

Di sisi lain, Armenia akan melalui lebih banyak pemakaman untuk tentara yang gugur daripada korban Covid-19. Untuk negara kecil berpenduduk tiga juta orang, korban jiwa dari konflik ini sangat besar.

Sargis Hakopyan, 19, adalah seniman muda berbakat, yang mulai menggambar sejak usia dini.

Sepupunya, Sed, ingat bagaimana dia melukis ikan pertamanya ketika dia berusia tiga tahun.

Pada Juli 2019, Sargis direkrut menjadi tentara Armenia. Segera setelah itu dia kehilangan ibunya, yang sangat dekat dengannya.

Keluarganya diberitahu tentang kematiannya pada 17 Oktober. Hingga kini mereka belum menerima jenazahnya.

Sargis adalah orang yang kreatif, kenang sepupunya. ”

Dia cakap dalam hal menyanyi dan berpuisi, memiliki banyak teman perempuan dan disukai oleh semua orang di manapun dia berada,” kata Sed.

“Sargis bermimpi untuk belajar di akademi seni Yerevan,” ujar teman masa kecilnya, Anush Khachatryan.

“Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya di hati saya. Tidak ada.”

Kedua negara dicekam rasa sakit karena kehilangan, tetapi kemajuan militer Azerbaijan telah meningkatkan moral publik di dalam negeri dan tampaknya ada dukungan yang luar biasa untuk melanjutkan perang.

Aziza Gasanova, 27 tahun, berduka atas suaminya, Fariz Gasanov.

“Saya terakhir melihatnya pada 10 Oktober. Dia pulang untuk mandi, bahkan tidak makan. Dia hanya mengambil tiga potong coklat, dia terburu-buru waktu itu dan mencium anak-anak kami,” kenangnya.

Fariz, 34 tahun, pendiam tapi baik, kata istrinya. Dia bergabung dengan tentara ketika dia berusia 19 tahun dan berdedikasi pada masalah sengketa Nagorno-Karabakh.

Seringkali ia akan mengatakan bahwa mereka mewarisi masalah dari ayah mereka, tetapi terserah pada generasinya untuk memastikan Azerbaijan mengembalikan wilayah mereka yang hilang, katanya.

Aziza Gasanova dengan suaminya yang telah meninggal, Fariz, dan putri mereka.

Aziza tak lagi menerima telpon dari Fariz sejak 11 Oktober.

Beberapa hari kemudian, Aziza mendapat kabar bahwa Fariz tewas dalam petempuran di kota Fizuli, yang kembali dikuasai oleh tentara Azerbaijan. Dia dimakamkan lima hari kemudian.

“Putri saya berkata ayahnya telah menjadi malaikat dan berada di surga. Dia mengulangi kata-kata saya. Anak itu belum memahami bahwa ayahnya tak lagi bersama kita” kata Aziza.

Keluarganya selalu menyimpan bendera Azerbaijan di rumah mereka dan kini Aziza berharap putranya Ruslan, yang baru berusia empat tahun, suatu hari akan bergabung dengan militer dan menjadi seorang jenderal.

“Saya akan mengajarkan anak-anak saya untuk membenci Armenia karena mereka membunuh putra-putra kami. Banyak perempuan menjadi janda, ibu-ibu kehilangan putra mereka. Namun ini tanah kami. Semua orang tahu ini wilayah Azerbaijan,” tutur Aziza.

Etnis Armenia memandang Karabakh, yang mereka sebut Artsakh, sebagai “tanah air” mereka juga – tempat ini menjadi pos terakhir dari kerajaan Kristen kuno mereka. Dan banyak yang siap mengorbankan hidup mereka untuk itu.

Davit Hovhannisyan, 25 tahun, ingin mengejar karir militer sejak usia muda. Di masa kecilnya, dia kerap mengenakan seragam militer dan berpose untuk foto.

Dia terbunuh pada 10 Oktober di bagian tenggara Nagorno-Karabakh.

Sepupunya, Nellie Petrosyan, mengenangnya sebagai seorang pria yang pandai menyanyikan lagu-lagu patriotik dan suka bercanda dengan keluarganya.

“Saya terakhir melihatnya pada bulan September; kami pergi mengunjungi biara abad ke-10 di desa kami Shatin.”

“Davit mengumpulkan ranting untuk saudara perempuannya. Dia sangat mencintai alam. Itu adalah hari yang bahagia dan saya tidak pernah membayangkan itu akan menjadi pertemuan terakhir kami.

“Saya ingin orang Armenia dan dunia mengingat Davit sebagai pahlawan sejati, dan patriot sejati.”

Perang di Nagorno-Karabakh sekarang sudah memasuki minggu kelima, dan tidak ada tanda-tanda pertempuran mereda dari kedua sisi.

Tiga gencatan senjata datang dan pergi dan Azerbaijan melanjutkan agresi militernya.

Negara itu telah merebut kembali sejumlah besar wilayah yang sebelumnya di bawah kendali Armenia.

Perdana Menteri Armenia telah berjanji untuk “berjuang untuk setiap sentimeter dan setiap milimeter terakhir” tanah di Karabakh. @

Tag: