Kontroversi Pernyataan Mardani Ali Sera Haramkan Tagar ‘2019 Ganti Presiden’

aa
Sejumlah orang mendeklarasikan tagar #2019GantiPresiden di kawasan Monas, Jakarta, 6 Mei 2018 lalu. (Hak atas foto Antara/Muhammad Iqbal Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS), Mardani Ali Sera, yang mengharamkan seruan #2019GantiPresiden menimbulkan kontroversi di internal Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.  Mardani Ali Sera merupakan pencetus tagar yang sempat ramai di media sosial ini pada Januari lalu, namun belakangan dia meminta tagar dihentikan karena “kompetisi telah usai”.

“Per 13 April saya sudah mengharamkan diri tidak boleh teriak lagi ganti presiden. Sudah selesai. Kenapa? Karena itu sudah hari terakhir kampanye. Kalau sekarang apalagi sudah selesai kompetisinya. Kita kembali normal. Ganti presiden sudah tutup buku,” kata Mardani, pada Jumat (03/05) lalu.

Ucapan itu mengemuka ketika Mardani yang juga Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi memberikan tanggapan seputar pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono di Istana Merdeka.

Mardani mendukung proses rekonsiliasi TKN Jokowi-Ma’ruf dengan BPN Prabowo-Sandi. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan apakah PKS — yang menjadi salah satu partai pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno — mulai menjauh dari pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, menyatakan mereka tetap berkomitmen. “PKS tetap komitmen dengan koalisi bersama dengan Prabowo-Sandi,” kata Hidayat kepada BBC News Indonesia, Senin (6/5).

Menurutnya, hingga kini PKS masih setia dengan Koalisi Adil dan Makmur yang menyokong Prabowo dan justru menganggap pernyataan Mardani sengaja dipelintir untuk mengadu domba. “(Mengadu domba) antara BPN dan BPN, BPN dan PKS, dan PKS dengan pendukung Prabowo-Sandi,” katanya.

Bentuk rasionalitas

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai langkah Mardani merupakan bentuk rasionalitasnya menghadapi penghitungan suara yang tengah dilakukan KPU.

“Bisa saja Mardani dan kawan-kawan ini mulai rasional bahwa kalkulasi manual, situng KPU, ataupun quick count itu, sebenarnya dalam logika ilmiah politik, memang selalu akurat, sehingga (tagar) Ganti Presiden atau segala apa pun itu adalah gerakan-gerakan yang justru kontra-produktif,” ungkar Adi.

Bagaimanapun, sejumlah pertanyaan muncul menyusul pernyataan Mardani soal tagar ganti presiden. Warganet juga bereaksi, terutama mereka yang mendukung Prabowo-Sandi. Salah satunya, Ties Ahayuningtyas, yang dalam cuitannya menanyakan nasib PKS kepada Mardani: “Kalian masih di koalisi?” Sementara Deasy Arfisi mempertanyakan batas waktu tanggal 13 April 2019 yang diucapkan Mardani.

Mardani tidak merespons ketika dihubungi untuk dimintai klarifikasi terkait pernyataannya.  Akan tetapi, melalui akun Twitternya, ia mengklarifikasi bahwa yang ia maksud dengan “Ganti presiden sudah tutup buku” adalah perubahan tagar yang sebelumnya #2019GantiPresiden menjadi #2019PrabowoPresiden.

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, berpendapat bahwa selain sebagai respons rasional terhadap proses perhitungan dan rekapitulasi suara KPU, pernyataan Mardani yang “mengharamkan diri” seruan #2019GantiPresiden juga merupakan upayanya untuk menghormati proses tersebut.

Penghitungan suara lewat situng, atau real count KPU hampir 70% sampai Senin (06/05) dan menunjukkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul sekitar 12% dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. “Teriakan gerakan “Ganti Presiden” itu kan dikhawatirkan membuat suasana makin nggak kondusif,” tutur Adi.  Terlebih, menurutnya, basis pemilih PKS yang merupakan anak muda rasional dan terpelajar mendorong Mardani untuk mengambil langkah tersebut.

Meski demikian, terlepas dari pernyataan Mardani tersebut, Adi berpendapat bahwa PKS akan tetap berada di seberang kubu Jokowi bersama Prabowo-Sandi. “Karena memang PKS sudah declare kalau Jokowi jadi presiden, mereka akan tetap jadi oposan yang loyal,” jelas Adi. “Jadi kemungkinan untuk ‘lompat pagar’ nggak mungkin kalau PKS ya, kalau melihat sekarang.”

AA
Mardani Ali Sera menyerukan stop tagar ganti presiden.(KOMPAS.COM)

Sementara peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Lucky Sandra Amalia, justru menganggap pernyataan Mardani sebagai sikap pribadi yang disebutnya one-man-show. “Ini one-man-show saja, tidak ada hubungannya dengan perilaku partai politiknya,” tutur Sandra.  “Kita tahu Mardani Ali Sera sudah aman (perolehan suaranya), kemudian partai politiknya juga sudah aman, jadi sah-sah saja kemudian dia melakukan hal yang seperti itu.”

‘Koalisi Prabowo kali ini lebih lemah’

`Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, menegaskan bahwa PKS tetap solid dengan koalisi Adil dan Makmur ketika ditanya tentang maksud pernyataan Mardani. “PKS komitmen dengan keberadaannya dalam koalisi dengan BPN, dengan Prabowo-Sandi,” ujar Hidayat.

Ia menolak pernyataan yang dituduhnya dipelintir dan mengesankan seolah-olah PKS ‘menyerah’ dalam pemilu kali ini. “Seolah-olah beliau (Mardani) mengibarkan bendera putih, sudah nggak ada lagi (tagar) ‘Ganti Presiden’, seolah-olah kemudian sudah selesai lah,” bebernya.

Satu suara dengan Hidayat, juru bicara BPN sekaligus politikus Gerindra Andre Rosiade meyakinkan bahwa koalisi Prabowo-Sandi masih kokoh.  “Sampai sekarang alhamdulillah masih sangat solid, komunikasi sangat baik,” tuturnya.

Akan tetapi, pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai koalisi Prabowo kali ini tidak sekuat Koalisi Merah Putih tahun 2014 lalu.  Pada tahun 2014, Koalisi Merah Putih yang terdiri dari tiga partai, Gerindra, PKS, dan PAN, solid hingga pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan pasangan Jokowi-JK setelah hasil pemilu digugat Prabowo-Hatta.

Sementara kali ini, sebelum hasil pemilu diumumkan KPU, Partai Demokrat dan PAN sudah lebih dulu menjalin komunikasi dengan kubu petahana. “Kalau melihat basis koalisinya memang lebih lemah, artinya kalau dulu memang nyaris tidak ada suara-suara sumbang dari dalam,” kata Adi.

Hal itu, menurutnya, dikarenakan disparitas suara Jokowi-Ma’ruf terlampau dominan. Hal tersebut mengakibatkan anggota koalisi Prabowo-Sandi sulit berspekulasi untuk menyatakan bahwa pasangan yang mereka usung masih mampu membalap suara Jokowi.

“Kalau kekalahannya cuma dua atau tiga persen, mungkin mereka masih berpekulasi bahwa 02 ini akan mampu membalap dan melampaui. Tapi ini selisihnya di atas 10%, jadi dalam kondisi apa pun, saya kira agak susah untuk mengalahkan,” ujar Adi.

Disparitas suara itu yang kemudian membuat PKS, PAN, dan Demokrat tampak ‘melunak’ belakangan.  “Wajar kalau mereka ini mengharamkan segala sesuatu yang menjadi alat agitasi dan propaganda mereka ini dari jauh-jauh hari.”

Langkah pragmatis

Sementara menurut pengamat politik dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, sikap partai anggota Koalisi Adil dan Makmur yang “melunak” disebabkan oleh politik pragmatis yang tengah dilakoni mereka. “Langkah yang rasional saja yang dilakukan oleh elit-elit politik, apalagi kemudian dari kubu Jokowi sendiri kan membuka peluang untuk kubu oposisi untuk juga bergabung. Jadi ini juga soal perilaku elit yang pragmatis,” tutur Hurriyah.

Perilaku pragmatis tersebut tak lepas dari pembentukan koalisi yang tidak alami alias dipaksakan. Menurutnya, karena hanya ada dua kandidat capres-cawapres, maka partai politik mengambil langkah pragmatis dalam menentukan akan bergabung dengan koalisi yang mana.  Untuk itu, Hurriyah menilai tidak mengherankan bila kemudian ada partai yang kemudian dengan mudahnya berubah haluan.

AA
Ketum PAN Zulkifli Hasan (kanan) dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kiri) saat mengikuti pelantikan Gubernur-Wakil Gubernur Maluku Murad Ismail dan Barnabas Orno di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/4/2019). (Hak atas foto ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras Image caption)

Adi Prayitno menggambarkan sikap pragmatis tersebut dalam dua jenis rencana yang dimiliki setiap partai dalam menghadapi hasil pemilu. “Ada Plan A dan Plan B. Plan A-nya sih tentu partai-partai ini berharap 02 menang, cuma sepertinya mulai nggak rasional kalkulasinya,” beber Adi. “Ya mereka bikin Plan B, sebagai jaring dan gejala gitu, bahwa mereka siapa tahu ada kemungkinan bisa menjadi dari pemerintah, terutama PAN dan Demokrat,” sambungnya.

Sebelum pernyataan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera tentang “mengharamkan” #2019GantiPresiden Jumat (3/5) lalu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan juga sempat berbincang dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada Rabu (24/4) lalu.  Setelahnya, yaitu pada Kamis (2/5) lalu, Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga memenuhi undangan Presiden Jokowi untuk bertemu empat mata di Istana Merdeka, Jakarta.

Sumber: BBC News Indonesia