Kotak Suara Bahan Karton Sudah di Gudang KPU Kabupaten/Kota se-Kaltim

aa
Kotak suara yang bahannya dari karton yang akan digunakan di Pemilu Serentak 2019 di Gudang KPU Kutai Kartanegara. (Foto Intoniswan)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Kotak suara bahan karton yang akan digunakan di Pemilu Serentak 2019 (Pemilu Legislatif dan Presiden) sebagian besar sudah di gudang KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten/Kota se-Kaltim. Jumlah kotak suara dari karton itu, jumlahnya cukup banyak sebab, ditiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) harus disediakan 5 kotak, untuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden.

Demikian hasil pantauan Niaga.Asia di gudang KPU Berau, Samarinda, dan Kutai Kartanegara sejak tanggal 15 Desember sampai 17 Desember 2018. “Kita sudah terima baik itu kotak suara maupun bilik suara yang bahannya sama-sama dari karton,” kata Sekretaris KPU Berau, H Abdurrahman, Sekretaris KPU Samarinda, Sukimin, dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) KPU Kukar, Yuliana.

Menurut Abdurrahman, penggunaan kotak suara dan bilik suara bahannya dari karton lebih memudahkan distribusinya ke wilayah pedalaman dan pesisir Berau sebab, bisa dilipat. Sekali droping bisa dalam jumlah banyak, meski dalam pendistribusiannya harus dibungkus dengan plastik agar kedap air. “Mendistribusikan kotak dan bilik suara dari karton lebih mudah dari kotak dan bilik suara dari alumunium yang tidak bisa dilipat,” katanya.

Hal yang sama juga dikatakan Sukimin dan Yuliana. Kotak dan bilik suara yang bahannya dari karton sudah diterima sejak awal bulan Nopember dan kini sudah disimpan di gudang KPU. KPU Samarinda menempatkan di gudang di Komplek Pergudangan di Jalan Ir Sutami. Sedangkan KPU Kukar menyimpannya di gudang berupa rumah toko dua lantai di Jalan Pesut Tenggarong. “Gudang dijaga aparat Kepolisian dan Satpam KPU,” kata keduanya secara terpisah.

Berdasarkan catatan KPU Samarinda, kotak suara dari bahan karton yang sudah diterima 12.921 buah, KPU Berau sudah menerima kiriman kotak suara 3.608 buah, dan KPU Kukar telah menerima kotak suara sebanyak 10.558 buah. KPU Kabupaten/Kota lainnya di Kaltim juga sudah menerima dalam kurun waktu bersamaan.

KPU: ‘Ini kecurigaan berlebihan’

Kotak suara yang terbuat dari karton dupleks diragukan kualitasnya oleh sejumlah kalangan, lantaran dianggap tidak kokoh sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kecurangan.

Tapi hal itu ditangkis Komisioner KPU, Pramono Ubaid, yang mengatakan potensi kecurangan tidak semata berasal dari faktor kotak suara. Merujuk pada Undang-Undang tentang Pemilihan Umum pasal 341 ayat 1 berbunyi, “perlengkapan kotak suara untuk pemungutan suara harus bersifat transparan, yang bermaka bahwa isi kotak suara harus terlihat dari luar”.

Dari situ KPU, menurut Pramono, menilai penggunaan alumunium tidak sesuai untuk dijadikan kotak suara dan mengajukan dua bahan alternatif yakni plastik dan kardus dengan beragam ukuran, campuran, dan ketebalan. “Kalau alumunium kan jelas nggak transparan. Karena tertutup di empat sisi. Jadi dari situ asal muasalnya,” ujar Pramono Ubaid kepada BBC News Indonesia, Minggu (16/12).

Pada Maret 2018, KPU lantas mengusulkan kotak suara karton dupleks dalam pembahasan Rapat Dengar Pendapat (DRP) bersama DPR dan pemerintah. Ketika itu, tidak ada satu pun fraksi yang keberatan atau protes. Begitu pula dengan sikap pemerintah.

“Lalu kita mengusulkan kotak suara dengan karton kedap air atau dupleks. Usulan itu dituangkan ke draft Peraturan KPU dan diajukan ke DPR dan pemerintah. Waktu pembahasan tidak ada pendapat yang berbeda,” jelas Pramono. “Jadi secara politik dan hukum sudah memenuhi prosedur dan mendapat persetujuan wakil rakyat,” sambungnya.

aa
Kotak dan bilik suara yang behannya dari karton di Gudang KPU Samarinda. (Foto Istimewa)

Total ada 4,6 juta lebih kotak suara berbahan karton dupleks yang dibikin dan telah selesai pembuatannya pada akhir November lalu. Menurut Pramono, anggaran yang dipakai untuk produksinya mencapai Rp284,2 miliar.

Ia juga mengatakan, kotak suara karton dupleks ini sudah pernah dipakai pada pemilu sebelumnya yakni pada 2014 hingga Pilkada Serentak 2018. Hanya saja, ketika itu keberadaannya untuk melengkapi kekurangan kotak suara utama alumunium. “Ketika pemilu 2014, kekurangan (kotak suara) alumunium cukup banyak dan ditutupi dengan kotak dari kardus. Jadi sebetulnya sudah diterapkan.”

Karenanya, Pramono meminta masyarakat tidak perlu takut bahwa surat suaranya terancam hilang atau rusak. Sebab dari sisi bahan, kotak suara dupleks dilapisi material lilin yang antiair dan kokoh karena mampu menahan beban hingga 70 kilogram.

“Jadi kotak suara ini bukan seperti bungkus mi instan atau air kemasan. Kotak suara itu juga nanti dibungkus plastik sehingga kalau kena air tak masalah. Ada gembok atau kabel sebagai pengunci.”

Selain itu dalam pantauannya, penggunaan karton dupleks sebagai kotak suara juga digunakan beberapa negara lain seperti Asutralia dan Kanada. Pramono pun berharap, politikus dari masing-masing calon presiden dan wakil presiden tidak berlebihan mencurigai penyelenggara pepmilu. “Harusnya masing-masing calon sudah tahu dong. Ketika bahas peraturan KPU, mereka terlibat. Menurut saya ini kecurigaan berlebihan,” ungkapnya.

Tim Prabowo-Sandi minta kotak suara diganti

Polemik kotak suara ini ramai dibicarakan di media sosial setelah kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyebut kotak suara dari kardus yang diusulkan KPU tidak kuat, mudah robek, dan tidak awet. Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferry Juliantono, bahkan menyebut kualitas pemilu menurun jika menggunakan kotak suara karton dupleks. “Tapi kardus tetap kardus, rawan disalahgunakan, rawan rusak. Nanti kardus bekas kotak televisi dipakai,” ujar Ferry Juliantono sambil tertawa. “Kalau perlu (kotak suara) dari besi semua.”

Menurutnya, standar kotak suara haruslah berbahan alumunium. Hal itu, kata dia, merujuk pada pemilu-pemilu sebelumnya. “Jadi pertanyaan kenapa nggak alumunium yang sudah standar kayak pemilu sebelumnya? Kotak suara bekas pemilu lalu bisa digunakan, masih ada kan? Kalau ada yang rusak bisa diganti,” imbuhnya.

Berbeda dengan kubu Prabowo-Sandi, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, yaitu Jonny G Plate justru mempertanyakan motif politik di balik pernyataan kubu lawan.  “Ini kan gara-gara Ahmad Riza Patria. Kan dia yang pimpin rapat, jadi bukan soal kardus. Ini mau mainkan apa? Mau rusak pemilu Indonesia?” ujar Jonny G Plate.

Menurutnya, KPU sebagai penyelenggara negara, mustahil mengambil risiko membuat peraturan yang bertentangan dengan undang-undang. Ia pun tak mempersoalkan bahan baku yang dipakai KPU untuk membuat kotak suara selama memenuhi syarat UU Pemilihan Umum. “Mau pakai kayu, plastik, karton asal memenuhi syarat undnag-undang yakni kuat, tahan air, kertas suara tidak rusak,” imbuhnya.

‘Jangan politisasi kerja penyelenggara pemilu’

Pengamat pemilu dari Perludem, Titi Anggaraini, menyebut kecurangan pemilu bukan semata disebabkan oleh bahan baku kotak surat suara. Menurutnya, praktik semacam itu bisa terjadi meskipun kotak suara berbahan baja sekalipun.

Justru, kata dia, yang perlu diawasi secara baik adalah petugas penyelenggara pemilu di tiap-tiap tempat pemungutan suara, pengawasan oleh Bawaslu, dan keamanannya. “Bahan apapun punya potensi kecurangan dan manipulasi. Baja sekalipun kalau dibuang ke laut, akan hilang. Jadi yang menentukan itu petugas yang berintegritas, skema pengawasan dan pengamanan,” jelas Titi Anggraini kepada BBC News Indonesia.

aa
Kotak suara dan bilik suara dari karton di Gudang KPU Berau. (Foto Intoniswan)

Dalam pantauannya, penggunaan kotak surat suara dengan bahan karton bukan hal baru dalam proses pemilihan umum. Dia mencontohkan Australia, Argentina, dan Selandia Baru yang menggunakan material serupa. Sementara Nepal menggunakan kotak berbahan plastik. “Jenis kotak suara beragam di dunia ini. Ada plastik, mika, kaca, alumunium, karton atau baja. Sehingga tidak ada satu pilihan lebih baik dari pilihan lain.”

Baginya polemik kotak suara ini tidak perlu terjadi jika kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi Ma’ruf tak mempolitisasi kerja penyelenggara pemilu. Imbasnya, kata dia, pemilih menjadi ragu dan khawatir jika suaranya disalahgunakan. “Situasi ini jadi gaduh karena penyelenggara pemilu ditarik ke ranah politik. Padahal ini (kotak suara) keputusan biasa tapi jadinya kontroversial karena dikaitkan dengan problematika kontestasi. Apalagi pemicu untuk mempertanyakan integritas penyelenggara,” jelasnya.

“Kalau kita tidak percaya dengan prosesnya sejak awal, maka akan berusaha membuat dugaan-dugaan. Dampaknya kita tak percaya karena anggap begini. Tapi kalau kita percaya, mau kotak suara itu diletakkan dalam kardus biasa, kita akan percaya.” (001)