Krisis Akibat COVID-19 Sangat Berbeda dengan Krisis Keuangan Asia 1998

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menjadi salah satu panelis dalam acara Toronto Centre Live Webinar dengan tema “Post Covid-19 Crisis: Implications for Financial Stability, Financial Inclusion, Gender Equality and International Development”.

JAKARTA.NIAGA.ASIAKrisis yang terjadi karena pandemi Covid-19 saat ini dipandang sangat berbeda dengan krisis keuangan Asia 1998 maupun krisis keuangan global 2008. Dalam masa pandemi yang penuh ketidakpastian ini, pemerintah memiliki peran sangat penting karena hampir semua sektor publik hingga swasta terkena imbas Covid-19.

Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menjadi salah satu panelis dalam acara Toronto Centre Live Webinar dengan tema “Post Covid-19 Crisis: Implications for Financial Stability, Financial Inclusion, Gender Equality and International Development” sebagaimana dilaporkan situs kemenkeu.go.id, Selasa (30/6/20200.

“Krisis kali ini berbeda sekali karena kita harus melindungi manusia dan perekonomiannya sekaligus. Untuk membendung penyebaran virus, kita harus membatasi pergerakan manusia. Itu salah satu shock besar karena tidak pernah terjadi sebelumnya, jadi kita harus memikirkan dua sampai tiga langkah ke depan. Ini lah mengapa Pemerintah berperan sangat penting”, kata Menkeu. Pemerintah langsung merespon dengan cepat yaitu dengan melakukan penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pandemik Covid-19 ini memukul perekonomian masyarakat secara luas, termasuk rumah tangga dan pelaku usaha. Selain perlindungan sosial, dukungan bagi pelaku usaha, khususnya UMKM sangat penting. Salah satu langkah penting adalah restrukturisasi kredit UMKM, dibarengi dengan subsidi bunga dan memberikan kemudahan untuk mendapatkan kredit modal kerja baik melalui penempatan dana murah pada perbankan maupun penjaminan kredit. Menurut Menkeu, banyak pelaku UMKM adalah wanita, sehingga dukungan ini juga sekaligus berdampak pada inklusi keuangan dan kesetaraan gender yang menjadi topik webinar ini.

Menkeu menambahkan, satu hal yang berbeda pada krisis kali ini adalah adanya pembatasan sosial, dan beruntung Indonesia punya teknologi sehingga banyak transaksi dilakukan secara online. Episentrum pandemi di Indonesia yaitu Jakarta yang masyarakatnya lebih maju dalam penguasaan teknologi.

“Sehingga meskipun tidak ada kontak (fisik), transaksi terus berlangsung. Banyak orang beralih menggunakan transaksi dengan teknologi digital. Hal ini mengakselerasi penggunaan teknologi yang (selanjutnya) mentransformasi ekonomi ke digital”.

Menkeu juga menjelaskan strategi pembiayaan Indonesia di masa pandemi. Di tengah pandemi yang menyebabkan gejolak pasar keuangan, pendalaman pasar dan mengandalkan pembiayaan domestik menjadi sangat penting. Di Indonesia, peningkatan defisit terjadi secara dramatis menjadi di atas 6%.

“Kami pertama melihat sumber pembiayaan yang kita miliki sendiri. Selanjutnya Pemerintah juga memanfaatkan pasar surat berharga dalam negeri. Di samping itu, dimungkinkannya bank sentral untuk membeli dan berpartisipasi di pasar primer juga menjadi satu hal kritikal. Terakhir, peran lembaga keuangan multilateral dan bilateral juga sangat penting dalam memberikan pinjaman dengan bunga yang rendah,” ungkap Menkeu.

Acara ini dimoderatori oleh Chair of OECD Development Assistance Committee Susanna Moorehead, dengan panelis lainnya yaitu Vice President dan Chief Economist World Bank Group Dr. Carmen Reinhart. Untuk diketahui, Toronto Centre merupakan lembaga nirlaba yang fokus pada capacity building regulasi dan pengawasan sektor keuangan.

Lembaga nirlaba ini telah didukung oleh berbagai lembaga donor seperti GAC (Canada), SIDA (Sweden), World Bank, dan IMF. Toronto Centre telah bekerja sama antara lain dengan lembaga pengawasan sektor keuangan Swedia, Singapura dan menangani beberapa proyek spesifik seperti South East Asian Central Bank Research and Training Center dan ASEAN Insurance Training and Research Institute. (*/001)

Tag: