Lahan Pertanian Terus Tergerus, Sapto Minta Daerah Tahan Alih Fungsi

Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman juga sulit ditahan pemerintah. (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Anggota DPRD Kaltim/Wakil Ketua Komisi II, Sapto Setyo Pramono, menegaskan bahwa cita-cita provinsi ini untuk menjadi lumbung pangan nasional adalah ambisi besar yang membutuhkan langkah konkret, sinergi antar pemangku kepentingan, menahan dan mengendalikan alih fungsi lahan pertanian secara serius.

Hal tersebut disampaikannya Sapto dalam program Dialog Publika TVRI bertema ‘Sanggupkah Kaltim Jadi Lumbung Pangan?’ yang tayang pada Selasa (10/6). Selain Sapto, hadir pula dua narasumber lain yakni Kabid Produksi Tanaman Pangan DPTPH Kaltim Diah Adiaty Yahya, serta Kepala Biro SDM Polda Kaltim Irvan Prawira Satyaputra.

Pada kesempatan itu, Sapto menyampaikan bahwa potensi Kaltim sangat besar untuk menjadi lumbung pangan. Namun, terdapat berbagai tantangan, khususnya terkait alih fungsi lahan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

“Dari data RTRW 2016 dan perubahannya ke tahun 2023, peralihan fungsi lahan kita sangat signifikan. Kalau ini tidak dikendalikan, maka cita-cita lumbung pangan akan sulit tercapai,” ujarnya.

Sapto, yang membidangi sektor pertanian, perkebunan, dan ketahanan pangan di Komisi II, menegaskan bahwa arah kebijakan pangan Kaltim harus bergeser dari sekadar ketahanan pangan menuju kemandirian pangan.

“Penduduk Kaltim itu kurang lebih 4 juta jiwa. Namun saat ini 70 persen kebutuhan pangan, termasuk daging, telur, hingga beras, masih bergantung dari luar daerah. Itu salah satu alasan mengapa kita harus mewujudkan kemandirian pangan, masa mau bergantung terus dari daerah luar,” bebernya.

Menurutnya, komitmen kolektif, terutama dari pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota di Kaltim harus dilakukan. Tujuannya, tak lain adalah untuk menjaga lahan pertanian dan tidak menyerahkannya pada kepentingan industri ekstraktif seperti tambang.

“Saya sangat berharap seluruh pemangku kebijakan, termasuk bupati dan wali kota, untuk mengendalikan kebijakan alih fungsi lahan ini. Tolong dengan sangat tolong untuk kebijakan ahli fungsi ini agar dikendalikan,” pintanya.

Senada dengan Sapto, Diah Adiaty Yahya, juga mengakui bahwa tantangan di sektor pangan Kaltim cukup kompleks. Bahkan, ia menyebut adanya target ambisius yang dicanangkan pemerintah pusat dan gubernur Kaltim untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu enam bulan ke depan.

“Jadi kalau untuk Kaltim, memang kita punya tantangan ya. Apalagi gubernur dan menteri itu menargetkan dalam enam bulan ke depan kita bisa swasembada,” jelasnya.

Ia menuturkan bahwa swasembada tidak hanya berarti ketahanan pangan saja, tetapi juga kemandirian. Namun, realisasinya tidak mudah. Salah satu hambatan utama adalah persoalan lahan, karena budidaya tanaman pangan hanya bisa dilakukan di atas lahan yang memadai.

“Lahan ini kan milik kabupaten/kota. Dari provinsi, kami juga sudah berupaya dengan mengeluarkan surat edaran, surat dari gubernur maupun wakil gubernur kepada bupati/wali kota, agar segera mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),” terangnya.

Menurut Diah, langkah ini penting agar lahan potensial tidak terus-menerus beralih fungsi ke peruntukan lain. Namun, hingga kini, ia mengakui bahwa implementasi di tingkat kabupaten/kota masih berjalan lambat.

“Pergerakannya di teman-teman kabupaten memang masih agak lambat. Padahal ini kunci utama kita untuk menjaga lahan pangan,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: