Lahannya Dikuasai PT KHL, Masyarakat Adat Agabag Mengadu ke DPRD Nunukan

Masyarakat adat Agabag Sebuku menyampaikan aspirasinya ke anggota DPRD Nunukan. (foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Kelompok masyarakat adat Agabag, Kecamatan Sebuku, mendatangi gedung DPRD Nunukan, menyampaikan aspirasi dan menuntut keadilan atas perlakuan perusahaan sawit PT Karangjuang Hijau Lestari (KHL), Kamis (11/02).

Sambil berteriak dan membentangkan spanduk tanda protes, masyarakat adat meminta lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat membantu penyelesaian sengketa lahan yang prosesnya telah masuk ke ranah kepolisian.

Luapan kemarahan berujung protes ini berawal dari tidak kunjung selesainya ganti rugi lahan dijanjikan perusahaan. Dilain sisi, pihak perusahaan melarang adanya aktivitas masyarakat di  lahan sengketa.

Sejumlah anggota DPRD didampingi aparat keamanan berusaha menenangkan masyarakat dan meminta, penyampaian aspirasi sebaiknya disalurkan lewat pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Nunukan Andi Krislina bersama Ketua Komisi II DRPD Nunukan Wilson dihadiri pula anggota DPRD lainnya, Hj Nikmah, Amrin Sitanggang, Lewi, Joni Sabindo, Ina Anggraini dan Darmawansyah.

Juru bicara perwakilan masyarakat adat Agabag, Alson mengatakan, persoalan ini menyangkut nasib kelangsungan kehidupan yang perlu disuarakan, karena negara sendiri mengakui dan menghormari adat istiadat masyarakat setempat.

“Ada 5 desa di kecamatan Sebuku masuk dalam areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit PT KHL,” katanya.

Masuknya 5 desa dalam HGU perusahaan yakni, Desa Babanas, Sujau, Masubaru, Lulu dan Tataban sangat merugikan kehidupan masyarakat, ruang lingkup untuk mencari pendapatan ekonomi semakin sempit.

Padahal,  kata dia, secara historis, keberadaan desa-desa ini telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia, kampung-kampung ini warisan nenek moyang yang diturunkan untuk anak cucu bertahan hidup di tanah leluhurnya.

“Perusahaan datang tiba-tiba mengaku sebagai pemilik lahan, lalu dimana lagi kami bertahan hidup, hampir semua lahan masyarakat tidak diakui,” sebut Alson.

Masyarakat adat Agabag Sebuku protes sejumlah warganya ditetapkan Polisi sebagai tersangka dalam kasus pencaplokan lahan PT KHL).  (foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

Kehadiran investasi perkebunan di Sebuku harusnya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, bukan memvonis masyarakat adat sebagai pencuri ditanahnya sendiri. lLbih parah lagi melaporkan masyarakat dalam perkara kejahatan ke penegak hukum.

“Lahan-lahan itu akses ekonomi masyarakat, lalu tiba-tiba datang investor mengambil lahan dan menuduh masyarakat sebagai pemilik hak ulayat mencuri disana,” tuturnya.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Utara, Theodorus menuturkan, hilangnya lahan-lahan telah menghilangkan pula lapangan kerja masyarakat, dan perlu diketahui, bahwa Corporate Social Responsibility (CRS) perusahaan tidak pernah menyentuh 5 desa tersebut.

“Tidak ada pemuda pemudi kami bekerja di perusahaan PT HKL, bagaimana kami mau hidup, karena ada sawit disana, kami ambil buahnya,” ujarnya.

Selain persoalan sengketa lahan, masyarakat adat meminta DPRD Nunukan  untuk berundingkan dengan  pihak perusahaan agar mencabut laporannya di kepolisian terhadap 17 warga ataupun 5 warga lainnya yang telah dijadikan tersangka pencaplokan lahan perusahaan.

Menurut Theodorus, PT KHL tidak hanya menghina dan merugikan warga Sebuku, tapi  menginjak-injak martabat lembaga DPRD Nunukan, karena tidak bersedia datang dalam undangan pertemuan digelar hari ini.

“Kami menuntut cabut laporan kepolisi dan berikan lahan untuk masyarakat bekerja, setidaknya bebaskan 500 meter lahan sisi kanan dan kini jalan,” bebernya.

Memanggapi persoalan ini, anggota DPRD Nunukan Andre Pratama menyebutkan, persoalan ini muncul dikarenakan ada sebab dan akibat dari keputusan perusahaan yang tentunya merugikan pihak masyarakat setempat.

“CRS tidak pernah diterima, lahan mereka diakui perusahaan, parahnya lagi, sebagian luasan administrasi desa masuk dalam kawasan HGU perusahaan,” terangnya.

Dengan persoalan ini pula, Andre meminta DPRD Nunukan kembali mengundang PT KHL dan menindaklanjuti persoalan ketingkat pusat, jika perlu DPRD membawa segala persoalan masyarakat ke Kementerian Kehutanan.

Hal senada disampaikan anggota DRPD Nunukan perwakilan Kecamatan, Amrin Sitanggang menerangkan, batas lahan antara masyarakat dan PT KHL tidak kunjung selesai dan persoalan ini sudah puluhan tahun

“Mulai Desa Tataban sampai Sujau, kiri dan kanan jalannya masuk HGU perusahaan, harusnya ada lahan masyarakat dipinggiran jalan untuk berkembang hidup,” ujarnya. (002)

Tag: