Lebih 550 Petugas Pemilu Meninggal: Penyakit Bawaan, Kelelahan, ‘Politisasi’

Pemakaman petugas KPPS Samarinda Dany Faturrahman, Kamis (18/4) siang, di Pemakaman Muslimin di Samarinda. (Foto : Istimewa)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Lebih dari 550 petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia selama Pemilu 2019, terdiri atas anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panwaslu dan Polri. Pengamat menyebut banyaknya petugas yang meninggal ini menjadi bahan politik.

Hasil audit medis dan autopsi verbal yang dilakukan Kementerian Kesehatan menemukan bahwa sebagian besar penyebab kematian adalah penyakit yang dipicu oleh kelelahan dan usia tua. “Selain di DKI Jakarta, secara garis besar kita sudah mendapatkan poin dari daerah, rata-rata meninggalnya karena penyakit. Ditambah juga dengan kelelahan… Dan usia juga rata-rata di atas 50 tahun paling banyak,” papar Oscar Primadi, Sekjen Kementerian Kesehatan.

Di DKI Jakarta sendiri Oscar menjelaskan bahwa hasil audit medis mereka menemukan “Dari 18 orang yang meninggal itu penyebabnya ada penyakit-penyakit bawaan, ada penyakit infarkmiokard 8 orang, gagal jantung 4 orang, ada koma hepatikum satu orang stroke dua orang, gagal napas dua orang, meningitis. Dan semuanya bukan terjadi secondary tapi akibat dari penyakit bawaan.”

Jumlah yang begitu besar itu mendorong kelompok masyarakat seperti dari Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa dan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi untuk mengautopsi petugas KPPS yang meninggal. Namun metode ini menurut Oscar tidak tepat untuk dilakukan di tahapan ini. “Autopsi untuk meninggal itu tak bisa, mesti ada persetujuan keluarga dan harus lebih detil dan njelimet tentunya,” ujar Oscar.

Politisasi masalah

Seiring dengan semakin besarnya jumlah petugas yang meninggal, semakin besar juga politisasi atas isu ini, yang menurut pengamat Pemilu dari Perludem, Titi Anggraini, disebabkan oleh diamnya KPU. “Diperlukan kemampuan untuk mengelola prioritas isu sehingga narasi yang beredar di publik menjadi begitu liar karena mereka tidak mendapatkan keberimbangan penjelasan dari KPU,” kata Titi.

Komisioner KPU, Ilham Saputra mengatakan bahwa diamnya KPU bukan karena tidak peduli, melainkan karena mereka sedang berusaha menyelesaikan perhitungan suara sesuai tenggat waktu. “KPU sekarang ini sedang disibukkan dengan banyak hal. Kita juga sudah mengurusi tentang teman-teman dan saudara-saudara kita yang meninggal. Kalau untuk mengulang kembali atau menyoal kembali persoalan-persoalan itu, buat kami kita akan kesulitan untuk menghadapi persoalan-persoalan ke depan, seperti rekapitulasi hari ini,” jawab Ilham. “Bukan kami tidak menganggap penting, tapi itu sudah kita selesaikan,” tambahnya.

KPU memang sudah mengeluarkan santunan ke korban sebesar Rp36 juta. Namun itu pun bahkan tidak dikomunikasikan ke publik, menurut Titi. Titi juga menyayangkan KPU tidak mengurai kesimpangsiuran beban yang harus ditanggung petugas KPPS.  KPU perlu memberikan gambaran yang lebih utuh, sesungguhnya bagaimana beratnya beban para petugas pada hari-H itu kepada publik,

“Juga meluruskan kesimpangsiuran, misalnya pemaksaan bekerja di luar jam kerja yang manusiawi oleh KPU. Itu bukan kehendak KPU tapi bagaimana desain UU Pemilu ketika dipoerasionalisasikan di lapangan ternyata tidak kompatibel dengan kemampuan manusia dalam kapasitas yang wajar karena dipaksa untuk bekerja secara nonstop di luar durasi kerja yang wajar.”

Meninggalnya petugas akibat penyakit yang dipicu oleh kelelahan sendiri terjadi setiap Pemilu sejak 2004, menurut Titi yang sudah memantau pelaksaan Pemilu dan demokrasi sejak 1999.

Sumbe: BBC News Indonesia