Lembaga Survei: Jumlah Golput di Pilpres 2019 Paling Rendah Sejak 2004

aa
Kampanye antigolput di tingkat akar rumput diduga mampu menangkal kampanye golput di media sosial. (Hak atas foto Antara Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Jumlah mereka yang tidak menggunakan hak pilih atau golput di Pilpres 2019 paling rendah sejak Pilpres tahun 2004, menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Berdasarkan hitung cepat LSI dengan 100% sampel, data golput pada Pilpres 2019 mencapai 19,24%.

Angka tersebut melawan tren golput yang terus naik sejak pemilihan umum pascareformasi. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat golput 23,30% pada Pilpres 2004, 27,45% pada 2009, dan 30,42% pada 2014. Data golput dalam sigi LSI diperoleh dari 100% dikurangi tingkat partisipasi pemilih atau voters turnout di pilpres berdasarkan hitung cepat, yaitu 80,76%.

Peneliti LSI, Adrian Sopa, menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membantu meningkatkan partisipasi pemilih ialah mobilisasi para pendukung yang semakin gencar di akhir masa kampanye, yang mana kedua pasangan calon menekankan bahwa satu suara bisa membuat perbedaan.

Faktor lainnya ialah meningkatnya partisipasi kelompok minoritas non-Muslim akibat gerakan 212.  Gerakan ini gencar menyuarakan kepada kaum Muslim agar tidak memilih pemimpin non-Muslim dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, dan berada di balik upaya yang berhasil memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama, yang saat itu menjabat gubernur DKI Jakarta, atas dakwaan penistaan agama. Pada periode pemilu kali ini, mayoritas simpatisan gerakan tersebut mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

“Terlihat di dukungan yang ada minoritas ini ke Jokowi, tetapi di PA 212 atau FPI lebih terhadap Prabowo sehingga kekhawatiran dari mereka, kalau misalnya mereka pergi tanpa nyoblos dulu nanti kelompok 212 yang akan memenangkan pertarungan ini,” kata Adrian.

Pengaruh suara dari kelompok minoritas ini, menurut Adrian, signifikan mengingat basis mereka sekitar 10%; sementara selisih perolehan suara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga diperkirakan sekitar 11% atau 17 juta suara.

“Terlebih, ketika kita lihat data yang ada, hampir 80% kelompok minoritas ini dukungannya ke Jokowi, sehingga kalau mereka tidak datang (ke TPS) suara terhadap Jokowi akan tergerus. Memang tidak sampai mengalahkan Jokowi, tapi akan membuat selisihnya menjadi sangat tipis,” imbuh Adrian.

aa
Peneliti LSI Adrian Sopa mengatakan suara dari kelompok minoritas non-Muslim secara signifikan mengurangi jumlah golput. (BBC News Indonesia)

Hasil sigi LSI menunjukkan Jokowi-Ma’ruf menang telak di basis suara kelompok minoritas non-Muslim yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat. Sementara Prabowo-Sandiaga menang telak di basis suara pemilih Muslim: Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Riau.

Angka golput di pileg lebih besar

Hitung cepat LSI menemukan jumlah golput di pemilihan legislatif (pileg) jumlahnya lebih besar dari pilpres, yaitu 29,68%.  Adrian Sopa menyebut ini sebagai akibat pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang diadakan serentak.

Menurut Adrian, masyarakat menganggap pilpres lebih penting, dan tidak terlalu memperhatikan siapa caleg yang bersaing. “Termasuk porsi peliputan media juga tidak terlalu banyak terhadap pileg, kemudian orang juga tidak terlalu mengenal calon-calonnya,” imbuh Adrian.

Angka golput menurun di hadapan gerakan yang mengajak masyarakat untuk tidak memilih pada pemilu kali ini.

Golput bisa dilacak sampai era orde baru, dan gerakan ini selalu ada di setiap periode pemilu, tapi belakangan gaungnya semakin besar berkat perkembangan teknologi. Di dunia maya, ajakan untuk golput menyebar salah satunya dengan tagar #SayaGolput.

Salah satu pegiat gerakan tersebut, Lini Zurlia, mengampanyekan untuk tidak memilih kedua pasangan calon presiden-wakil presiden serta calon anggota legislatif “yang berasal dari partai oligarki”.

Di sisi lain, Prabowo dianggap bukan pilihan karena rekam jejaknya di kasus pelanggaran HAM. Namun Lini mengatakan bahwa menurunnya angka golput berarti kampanye yang ia lakukan gagal karena golput sejatinya juga berarti suara yang tidak sah.

Ia menyoroti bahwa beberapa hitung cepat menemukan jumlah suara yang tidak sah mencapai sekitar 2% — hampir mencapai perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Di hari pemungutan suara, ia sendiri datang ke TPS, menempelkan stiker golput di surat suara, mencelupkan jarinya ke tinta biru, dan mengunggah fotonya di media sosial.

“Ada banyak warga negara yang secara sadar berpartisipasi di tanggal 17 April itu, datang ke TPS dan merusak surat suara. Bagi kami, yang mengampanyekan golput sebagai sebuah pilihan selain (pasangan calon presiden-wakil presiden) 01 dan 02, itu adalah sebuah keberhasilan,” kata Lini.

Lini juga menekankan bahwa tingkat golput di pileg kali ini hampir 30%, meningkat 6% dari pileg 2014. “Mungkin saja karena kampanye kami berhasil, menyampaikan kepada publik bahwa partai ini semuanya oligarch, enggak ada yang punya kepentingan terhadap rakyat,” ujarnya.

Peneliti LSI Adrian Sopa mengatakan, gerakan di akar rumput cukup efektif dalam menangkal kampanye golput di media sosial.

“Kalau kampanye golput di media sosial itu sudah ada tandingannya — kampanye anti-golput di media sosial; tetapi untuk kampanye anti-golput di bawah, di grass root itu tidak ada tandingannya,” ujar Adrian.

Sumber: BBC News Indonesia