Lima Titik Kritis Kepatuhan Pajak Bendaharawan Pemerintah

OPD 
Oleh: Teddy Ferdian,
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bendaharawan pemerintah memiliki posisi yang sangat strategis dalam pengelolaan keuangan negara, terlebih lagi dalam optimalisasi pengumpulan penerimaan negara. Bagaimana tidak, total 2.540,4 triliun rupiah dianggarkan untuk belanja negara dalam APBN tahun 2020, dengan komposisi 1.683,5 triliun rupiah belanja Pemerintah Pusat dan 856,9 triliun rupiah transfer ke daerah dan dana desa.

Belanja negara ini tentunya melibatkan para bendaharawan pemerintah. Unsur perpajakan pun ada di dalamnya. Bendaharawan pemerintah memiliki andil dalam pengumpulan target pendapatan negara sebesar 2.233,2 triliun rupiah melalui pemotongan dan pemungutan pajak atas belanja negara yang dilakukan. Urgensi kepatuhan pajak bendaharawan pemerintah pun layak untuk dikedepankan dalam upaya optimalisasi pengumpulan pendapatan negara.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menjelaskan pengertian bendahara sebagai setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah.

Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa bendahara pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Dari pengertian ini sudah jelas terlihat tugas, fungsi, dan wewenang bendaharawan pemerintah.

Upaya meningkatkan kepatuhan pajak bendaharawan pemerintah pun menjadi perhatian Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Terkait hal ini, sosialisasi tentang kewajiban perpajakan bendaharawan pemerintah tentu sudah sering dilakukan oleh kantor pajak. Namun, pada kenyataannya, masih banyak bendaharawan pemerintah yang belum melaksanakan kewajiban perpajakan secara menyeluruh.

Cukup luasnya ruang lingkup pekerjaan dan tanggung jawab bendaharawan pemerintah seringkali dijadikan alasan pembenaran untuk “mengabaikan” kewajiban perpajakan. Hal ini sebenarnya bisa berdampak fatal bagi bendaharawan sendiri. Terbitnya surat tagihan pajak menjadi risiko yang harus diterima akibat ketidakpatuhan bendaharawan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

Sehubungan dengan hal tersebut, berikut adalah titik-titik kritis yang sering terlewatkan terkait kewajiban perpajakan bendaharawan pemerintah. Pemenuhan titik-titik kritis ini diharapkan bisa menjadi titik balik peningkatan kepatuhan pajak bendaharawan pemerintah.

  1. Pembaruan data profil bendaharawan pemerintah

Jabatan bendaharawan pemerintah rentan terhadap pergantian pejabat bendahara. Walaupun kewajiban perpajakan bendaharawan pemerintah melekat pada jabatan sesuai NPWP bendahara, namun penting bagi bendaharawan untuk segera melaporkan ke kantor pajak jika terjadi perubahan nama pejabat bendahara.

Hal ini diperlukan untuk menyesuaikan nama penanggung jawab jabatan bendahara tersebut sesuai dengan kondisi terkini. Pembaruan ini tidak hanya penting bagi kantor pajak dalam hal penyampaian informasi perpajakan agar tepat sasaran, namun juga penting bagi wajib pajak bendahara dalam pemisahan rentang waktu penanggung jawab jabatan bendahara tersebut. Pembaruan data profil ini juga berlaku jika terjadi perubahan alamat unit kerja bendahara yang bersangkutan.

  1. Pembuatan kode billing secara benar

Para bendaharawan pemerintah boleh jadi sudah mendapatkan penyuluhan terkait pemotongan dan pemungutan pajak termasuk tarif pajak yang dikenakan untuk setiap transaksi. Namun, ada satu hal yang masih sering menjadi masalah terkait dengan penyetoran pajak. Wajib pajak bendahara seringkali membuat kode billing dalam rangka penyetoran pajak dengan menggunakan NPWP Bendahara untuk semua transaksi pemotongan pajak maupun pemungutan pajak.

Seharusnya, ada perbedaan dalam hal pembuatan kode billing untuk pemotongan pajak dan pemungutan pajak. Untuk pemotongan pajak yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), pembuatan kode billing menggunakan NPWP Bendahara. Sedangkan untuk pemungutan pajak seperti PPh Pasal 22 dan PPN, pembuatan kode billing menggunakan NPWP rekanan. Kesalahan dalam penggunaan NPWP mengharuskan bendahara mengajukan proses pemindahbukuan ke kantor pajak, yang tentunya memerlukan waktu untuk proses penyelesaiannya.

 

  1. Penyetoran pajak tepat waktu

Ada satu titik kritis lagi terkait penyetoran pajak oleh bendaharawan pemerintah. Banyak dijumpai kasus bahwa penyetoran pajak oleh bendaharawan pemerintah dilakukan setelah melewati waktu jatuh tempo penyetoran. Dengan berbagai alasan, bendaharawan pemerintah seringkali “mengumpulkan” dulu pemotongan dan pemungutan pajak untuk disetorkan di satu waktu, misalnya setiap tiga bulan atau bahkan enam bulan. Hal ini tentu memiliki risiko terbitnya surat tagihan pajak yang tentunya akan membebani bendaharawan pemerintah.

Adapun jatuh tempo penyetoran pajak untuk setiap jenis pajak adalah sebagai berikut:

  • PPh 21 yang dipotong, disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
  • PPh 22 yang dipungut, disetorkan paling lambat pada hari yang sama dengan  pembayaran;
  • PPh 23 yang dipotong, disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
  • PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang dipotong, disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
  • PPN yang dipungut, disetorkan paling lambat tanggal 7 bulan berikutnya.
  1. Pelaporan SPT Masa tepat waktu

Senada dengan penyetoran pajak, pelaporan SPT Masa juga menjadi titik kritis terkait kepatuhan pajak bendaharawan pemerintah. Wajib pajak bendahara seringkali “sengaja mengumpulkan” transaksi untuk beberapa bulan dan melaporkannya pada satu waktu misalnya tiga bulan atau enam bulan sekali. Bahkan ada beberapa kasus, SPT Masa tidak dilaporkan walaupun pajak sudah dipotong/dipungut dan disetorkan ke kas negara. Kembali, kesalahan ini rentan terhadap timbulnya surat tagihan pajak yang tentunya merugikan bagi bendaharawan pemerintah.

Adapun jatuh tempo pelaporan SPT Masa untuk setiap jenis pajak adalah sebagai berikut:

  • SPT Masa PPh Pasal 21 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya;
  • SPT Masa PPh Pasal 22 dilaporkan paling lambat tanggal 14 bulan berikutnya;
  • SPT Masa PPh Pasal 23 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya;
  • SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya;
  • SPT Masa PPN Pemungut dilaporkan paling lambat tanggal akhir bulan berikutnya.
  1. Pembuatan Bukti Potong 1721-A2

Titik kritis terakhir terkait dengan periode pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi seperti saat sekarang ini. Ada dokumen yang wajib dimiliki oleh wajib pajak Aparatur Sipil Negara (ASN) atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) atau Pejabat Negara atau pensiunannya untuk dapat melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Dokumen ini adalah bukti potong 1721-A2.

Bukti potong 1721-A2 ini merupakan bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi ASN/TNI/POLRI/Pejabat Negara atau pensiunannya yang berisi jumlah penghasilan yang diterima selama setahun, pengurang penghasilan, penghitungan PPh terutang, dan PPh yang dipotong oleh bendaharawan pemerintah.

Pandangan yang berkembang di kalangan wajib pajak, ternyata masih ada wajib pajak, bahkan bendahara sendiri, yang beranggapan bahwa bukti potong 1721-A2 dibuat dan diterbitkan oleh kantor pajak. Padahal, Pasal 23 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi menegaskan bahwa pemotong PPh 21 (dalam hal ini bendaharawan pemerintah) harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2) paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.

Ini berarti bahwa pemotong pajak diberikan amanat untuk membuat bukti potong 1721-A2 untuk suatu tahun pajak selambat-lambatnya tanggal 31 Januari tahun berikutnya.

Terkait hal ini, kantor pajak biasanya melakukan bimbingan teknis pembuatan 1721-A2 untuk para bendaharawan pemerintah. Para bendaharawan pemerintah diberikan kesempatan untuk menanyakan permasalahan-permasalahan yang dijumpai terkait dengan pembuatan bukti potong 1721-A2. Jika memerlukan penjelasan lebih lanjut, bendaharawan pemerintah tidak perlu ragu untuk menanyakan kepada petugas di kantor pajak.

Semoga dengan pemenuhan titik-titik kritis ini dapat lebih meningkatkan kepatuhan pajak bendaharawan pemerintah sebagai salah satu mitra DJP dalam mensukseskan pengumpulan pendapatan negara.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

**) Artikel ini sudah ditayang disitus pajak.gi.id dengan judul yang sama

 

Tag: