Mabes Polri Ungkap Perdagangan Manusia Terbesar

aqa
Foto: Kepolisian mengumumkan penangkapan tersangka perdagangan manusia terbesar. (Hak atas foto RENO ESNIR/ANTARA Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Seorang buruh migran yang dikirim ke Suriah dan Irak secara gelap bercerita tentang pengalaman buruknya dalam kasus “perdagangan manusia terbesar yang berhasil diungkap Polri.” Mabes Polri tengah memproses delapan orang yang diduga terlibat dalam kasus dugaan perdagangan sekitar 1.200 orang ke negara-negara di Timur Tengah sebagai tenaga kerja ilegal.

Bagi Jingga, 20, bukan nama sebenarnya, tawaran bekerja di Arab Saudi sangat menggiurkan.  Buruh pabrik asal Tangerang, Banten itu diiming-imingi tetangganya untuk bekerja di Arab Saudi dengan gaji Rp5 juta per bulan dengan bonus Rp5 juta jika ia dinyatakan sehat untuk bekerja di luar negeri. Jingga, lulusan SMP, mengatakan saat itu penghasilannya per bulan hanya sebesar Rp 300.000 dan seringkali uang itu tidak cukup untuk membiayai hidupnya dan keluarganya.

“Saya udah lelah, capek melihat perekonomian keluarga. Pulang pergi pulang pergi sebulan cuma dapat hasil Rp 300.000. Belum bayar utang. Adik saya juga masih kecil-kecil. Ya udahlah, demi keluarga, mau mengangkat derajat orang tua,” kata Jingga.

Dengan harapan itu, Jingga membulatkan tekadnya untuk pergi. Saat semua dokumennya siap, Jingga mengatakan ia malah diminta bekerja dulu di Surabaya selama dua minggu.  Setelah itu, di awal tahun 2018, ia dikirim ke Malaysia, Dubai, Turki, Sudan, Suriah, hingga Irak. Selama itu, Jingga mengatakan ia sama sekali tidak menerima gaji.

Ia mengatakan ia disiksa oleh majikannya di Suriah, di mana ia bermukim selama tiga bulan. Bersama dengan seorang tenaga kerja lain asal Lombok, Jingga memberanikan diri untuk kabur ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Suriah.

Namun, Jingga mengatakan, petugas KBRI mengembalikannya ke agennya.  Di kantor agen di Damaskus, selama satu bulan, Jingga mengatakan dia disiksa di kantor yang dikelola warga negara Indonesia itu.  “Saya dipukulin, rambut saya dipotong, tubuh saya dipamerkan ke orang-orang di kantor itu. Setelah itu saya diterbangkan, dijual ke Irak,” ujar Jingga.

Ia mengatakan penderitannya berlanjut selama ia bekerja selama tujuh bulan di sana. Jingga mengatakan di sana ia kerap disiksa dan diperkosa oleh anak majikannya. Saat mengadukan hal itu ke majikannya, Jingga mengatakan dia malah dituduh mencemarkan nama baik dan mencuri.

“Saya nggak mencuri sama sekali. Anaknya sendiri yang memperkosa saya. Saya nggak salah. Saya dijebloskan ke penjara dalam keadaan hamil tiga bulan,” kata Jingga.  Ia kemudian bebas setelah dijamin oleh pengacara sebuah organisasi kemanusiaan di Irak, Seed Foundation, dan International Organization for Migration (IOM).

Jingga pulang ke Indonesia pada bulan Februari tahun ini.  “Jangan sampai ada yang berangkat lagi, mohon benar-benar pemerintah nutup ke (jalur) ke Timur Tengah, biar jangan terjadi yang kayak saya ini,” kata Jingga.

‘Tidak ada laporan’

Jingga adalah salah satu dari setidaknya 1.200 orang yang menjadi korban pengiriman tenaga kerja ilegal ke negara Timur Tengah sejak tahun 2014. Kasus ini baru diungkap pihak kepolisian dan delapan orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.  Kebanyakan korban itu berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat.

aa
Iming-iming gaji tinggi membuat para pekerja Indonesia tertarik untuk bekerja sebagai buruh domestik di negara-negara Timur Tengah. (Hak atas foto BBC/Davies Surya Image caption)

Mabes Polri mengatakan praktik ini dilakukan oleh empat jaringan berbeda yang merekrut dan mengirim tenaga kerja ke Maroko, Suriah, Turki, dan Arab Saudi. Kombes Daniel Bolly Tifaona, Kasubdit Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Mabes Polri, mengatakan polisi baru mengungkap kasus yang disebut “perdagangan manusia terbesar yang pernah dibongkar Polri” ini karena ketiadaan laporan korban.

“Mungkin dia malu karena diperkosa segala macam, jadi kita tidak tahu ada korban-korban dari negara Timur Tengah itu. Itu kesulitan kita,” kata Daniel.  Ia menambahkan Undang-Undang terkait TPPO mewajibkan adanya pelaporan untuk penyidikan. Kasus ini, kata Daniel, akhirnya terungkap setelah sekitar 30 orang melakukan pelaporan ke pihak kepolisian tahun ini.

Meski begitu, Daniel mengakui masih ada jaringan lain yang terlibat dalam kegiatan serupa ini dan kepolisian sedang mencari orang-orang itu.  “Yang kita cari banyak,” kata Daniel.

‘Tidak tahu soal moratorium’

Jingga mengatakan ia tidak tahu soal moratorium yang diberlakukan pemerintah pada tahun 2015 yang melarang pekerja domestik bekerja di negara-negara Timur Tengah. Ia mengatakan dia juga tidak tahu bahwa sebelumnya banyak pekerja Indonesia yang mendapat perlakuan buruk di negara Timur Tengah.  “Saya nggak hobi nonton TV, jadi nggak tahu. Nggak ada bayangan, namanya pengalaman baru sekali ini,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan sejauh ini moratorium baru bersifat di atas kertas. “Secara legal, secara kebijakan, kita memang moratorium. Tapi, sesungguhnya di tingkat lapangan, pemerintah nggak ada upaya serius untuk melakukan koordinasi dan pengawasan sehingga masyarakat tidak tahu kita punya kebijakan penghentian ke negara-negara tertentu,” ujar Anis.

Anis mengatakan perlindungan pekerja migran harus dilakukan secara paripurna, mulai dari tingkat desa. Mereka, kata Anis, harus diberikan informasi yang cukup terkait peraturan yang ada dan diberikan pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni sebagai pekerja.

Masih jadi PR pemerintah

Kepala Biro Humas Kementerian Tenaga Kerja, R Soes Hindharno, mengakui memastikan pekerja Indonesia tidak bekerja sebagai tenaga domestik di negara Timur Tengah cukup sulit karena rayuan para calo dan keterbatasan APBN untuk melakukan penyuluhan ke warga di seluruh lumbung TKI.

Oleh karena itu, pemerintah, kata Soes akan berupaya menguatkan satgas-satgas yang dibuat di instansi-instansi terkait untuk mengawasi hal ini.  Ia menambahkan pemerintah akan menguatkan program Desa Migran Produktif (desmigratif). Saat ini sudah ada 252 desmigratif di Indonesia.

Dalam program ini, kata Soes, pemerintah menggandeng mantan-mantan TKI untuk memberikan penyuluhan dan informasi kepada calon buruh migran di desa mereka sendiri. “Tahun ini kita akan membangun 150 desa lagi. Harapannya ini akan mengeliminir (pengiriman TKI) yang tidak prosedural,” kata Soes.

Sumber: BBC News Indonesia