
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Sungai Mahakam selama ini dikenal sebagai nadi kehidupan bagi masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim). Bentang alurnya yang lebar membuat sungai ini tampak tenang sekali, seolah tak pernah menunjukkan amarah meskipun hujan lebat mengguyur wilayah hulunya.
Karakter itu berbeda dengan sejumlah sungai di Pulau Sumatera yang pada akhir tahun ini menunjukkan daya rusaknya. Alur sungai yang relatif sempit, rupanya tak mampu lagi untuk menahan limpahan air dan berujung banjir besar.
Kendati begitu kata Intoniswan, wartawan senior sekaligus Pemimpin Redaksi (Pemred) Niaga.Asia, ketenangan Sungai Mahakam tak bisa dianggap sepele. Menurutnya, Mahakam menyimpan kerentanan serius yang kerap kali luput dari perhatian publik.
Hal itu disampaikannya dalam Forum Dialog dan Refleksi Kaltim 2025 dengan tajuk ‘Sungai Mahakam untuk Siapa?’ itu tentunya bukan tanpa sebab. Melainkan karena dirinya memiliki pengalaman langsung menyusuri sejumlah sungai besar di Indonesia.
“Saya sudah pernah melintasi Sungai Kayan, Sungai Sesayap dan Sungai Mahakam. Dari sungai besar itu, Sungai Mahakam ini yang paling rentan dan lemah fisiknya. Bukan kuat. Dia itu sepertinya tidak pernah marah karena lebar, lemah fisiknya karena gampang terabrasi,” ujarnya di Ballroom Aratula, Bapperida Samarinda, Selasa (23/12/2025).
baca juga:
Jaga Kelestarian Sungai Mahakam, Begini Pemikiran Rusman Yaq’ub
Jika Sungai Mahakam ini tidak selebar yang ada sekarang, lanjut Intoniswan, amukannya bisa sama seperti sungai-sungai yang ada di Pulau Sumatera. Ia membandingkan dengan sungai di daerah asalnya, Sumatera Barat, yang memiliki alur relatif sempit sehingga saat hujan ekstrem terjadi di wilayah hulu, dampaknya langsung terasa di hilir.
“Saya asli Sumatera Barat. Sungainya tidak begitu lebar. Kalau dia mengamuk, minta ampun, seperti yang kita lihat sekarang ini,” jelasnya.
Masyarakat Kaltim, beber dia, sejatinya beruntung karena Sungai Mahakam memiliki alur yang lebar sehingga mampu menampung limpahan air saat hujan lebat mengguyur wilayah hulu. Namun kondisi itu tidak boleh membuat semua pihak terlena.
“Kalau makin lama Sungai ini mengecil, itu berbahaya juga,” terangnya.
Ia pun mengaitkan kondisi tersebut dengan aktivitas di wilayah hulu Sungai Mahakam, khususnya keberadaan perkebunan sawit di Mahakam Ulu. Pembukaan lahan di kawasan hulu ini berpotensi mempercepat kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan sedimentasi yang berujung pada pendangkalan alur sungai.
“Kalau sudah ada kebun sawit di Mahakam Ulu, itu berbahaya sekali,” katanya.

Seringnya terjadi kecelakaan di sungai Mahakam, tabrakan atar perahu dengan kapal ukuran besar, ponton, tiang jembatan ditabrak ponton, bukan hanya disebabkan alur pelayaran yang semakin sempit baik di ilur maupun di ulu, tapi bisa juga disebabkan berubahnya perilaku arus air sungai.
Walau demikian, Intoniswan menyebut Kota Samarinda masih relatif beruntung karena ketinggian wilayah hulu Sungai Mahakam itu tidak setinggi kawasan hulu sungai yang ada di Sumatera Barat.
“Kalau ketinggian hulu Sungai Mahakam sama dengan hulu sungai di Sumatera Barat, seperti di kawasan Gunung Merapi, laju airnya bisa sangat dahsyat. Pohon kelapa saja bisa dibongkar,” paparnya.
Secara fisik, Sungai Mahakam adalah salah satu sungai terbesar di Indonesia dengan bentang alur yang sangat bervariasi. Di wilayah hulu, sekitar Melak, lebar sungai berkisar 200 hingga 300 meter.
Sementara di bagian tengah hingga hilir, terutama saat melintasi Samarinda hingga kawasan delta Mahakam, lebarnya dapat mencapai 300 hingga 1.000 meter, bahkan lebih. Karakter inilah yang membuat Mahakam relatif mampu menampung limpahan air saat hujan lebat terjadi di wilayah hulu.
Namun, daya tampung tersebut bukan tanpa batas. Jika pendangkalan dan penyempitan terus terjadi, Mahakam berpotensi kehilangan fungsi alaminya. Kondisi inilah yang menurut Intoniswan, harus menjadi perhatian utama dalam perumusan kebijakan pengelolaan sungai di Kaltim.
“Saya pernah dipanggil Pak Isran Noor, coba nton, pikirkan bagaimana kita dapat uang dari Sungai Mahakam. Saya bilang aduh Pak, itu di luar kemampuan saya untuk berpikir. Tim ahli saja yang pikirkan. Menolak saya,” tegasnya.
Ironisnya, orientasi pengelolaan Sungai Mahakam sejak lama justru lebih banyak diarahkan pada upaya mencari pemasukan, bukan pada perawatan dan perlindungan sungai itu sendiri. Wacana bagaimana dapat ‘menghasilkan uang’ dari Mahakam terus berulang, dari masa ke masa.
“Motivasinya dari dulu itu sama, bagaimana dapat uang dari Sungai Mahakam,” singgungnya.

Apabila hanya sekadar mengejar pendapatan asli daerah (PAD), caranya sebenarnya tidak rumit. Pemerintah Daerah (Pemda) bisa saja menerapkan pungutan/reribusi terhadap kapal yang melintasi sungai Mahakam.
“Tidak perlu repot-repot. Bikin saja peraturan, perahu kecil yang pakai mesin 5 PK lewat Sungai Mahakam bayar Rp10 ribu. Ponton bayar sekian juta,” usulnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa sebenarnya permasalahan ini bukan terletak pada skema pungutan, namun keberanian dan konsekuensi politik yang menyertainya, terutama aktivitas ekonomi di Sungai Mahakam yang berkaitan dengan pertambangan batubara, kekuatan besar yang tidak mudah disentuh.
“Berani atau tidak melawan mereka. Asosiasi pengusaha batu bara itu kuat,” bebernya.
Ia mencontohkan pengalaman pemungutan pajak alat berat di Kaltim demi meningkatkan PAD daerah. Dalam praktiknya, kebijakan ini sulit diterapkan karena mendapat perlawanan keras dari pelaku usaha.
“Supaya PAD tinggi, dipungutlah pajak alat berat. Tapi tidak bisa. Dilawannya pemerintah sampai ke mana pun. Sekarang pemerintah juga tidak lagi mengurus itu,” ungkapnya.
Dari pengalaman tersebut, Intoniswan menilai arah kebijakan seharusnya dibalik. Regulasi pengelolaan Sungai Mahakam, termasuk jika dituangkan dalam peraturan daerah (Perda), tidak semestinya menempatkan sungai sebagai objek pungutan semata.
“Jadi saya berpikir, kalau dibikin perda, jangan lah diutamakan bagaimana dapat uang. Tapi bagaimana pemerintah daerah disubsidi oleh pemerintah pusat untuk merawat sungai ini,” tuturnya.

Usulan untuk memprioritaskan perawatan sungai itu, jelas dia, lahir dari pengalaman dan perbincangan panjangnya dengan para pelaku usaha pelayaran yang memang memahami betul kondisi alur Sungai Mahakam dari waktu ke waktu.
Pengalaman tersebut membuka matanya bahwa persoalan utama Sungai Mahakam bukan hanya sekadar tata kelola, melainkan beban kerusakan yang kian menumpuk.
“Saya pernah bertanya di awal tahun 2000-an kepada pengusaha pelayaran yang benar-benar mengerti alur sungai. Tahun 2000 itu, untuk mengembalikan kedalaman Sungai Mahakam agar layak layar saja, seperti tahun 1980-an dibutuhkan biaya sekitar Rp30 triliun,” ulasnya.
Angka itu, lanjut Intoniswan, pada masa ketika eksploitasi sumber daya alam, khususnya batubara, belum seintensif sekarang. Dengan tingkat aktivitas tambang dan lalu lintas sungai yang jauh lebih masif saat ini, ia meyakini kebutuhan anggaran untuk pemulihan sungai telah melonjak tajam.
“Kalau dihitung sekarang, mungkin sudah tiga kali lipat. Tahun 2025 ini bisa-bisa mencapai Rp80 triliun hanya untuk memperbaiki alur sungai,” tambahnya.
Ia lalu menyinggung kondisi jalur pelayaran dari muara hingga kawasan Palaran. Sekitar satu dekade lalu, kedalaman alur sungai di kawasan tersebut masih relatif ideal. Saat air pasang, kedalamannya mencapai sekitar 14 meter, dan saat surut masih berada di kisaran 7 meter.
“Kalau aliran pelayaran dari muara ke Palaran itu makin dangkal, kita nggak tahu efeknya bagaimana ke depan,” lanjutnya khawatir.
Ketika alur dari muara hingga Palaran terus menyempit dan dangkal, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sektor transportasi dan logistik, tapi membuat harga barang naik.
Berangkat dari kondisi itulah, Intoniswan pun kembali menegaskan bahwa arah kebijakan pengelolaan sungai di Kaltim seharusnya dapat difokuskan pada upaya perawatan dan pemulihannya, bukan semata-mata mengejar pendapatan.
“Saya lebih berpikir bagaimana Perda ini bisa membuat Provinsi Kaltim mendapat subsidi dari pemerintah pusat untuk merawat sungai. Bukan mencari duit dari sungai. Sekarang ini kita harus memastikan Sungai Mahakam dirawat dengan baik, untuk masa depan rakyat Kaltim,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Sungai MahakamTransportasi