Marhama Penjual Gado-Gado di Depan Museum Mulawarman, Menghidupi 7 Adiknya Sejak Usia 13 Tahun

Marhama melayani Devi, wartawan Ujarku.co yang penasaran dengan racikan bumbu kacang kental khasnya di depan Museum Mulawarman. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

TENGGARONG.NIAGA.ASIA – Siang hari baru bergeser menuju panas terik dan Taman Titik Nol depan Museum Mulawarman mulai dipenuhi aroma makanan kaki lima. Deretan pedagang kecil nampak membuka lapak sejak pukul 13.00 WITA.

Aroma pentol rebus, pentol bakar, bumbu kacang gado-gado hingga pencok buah yang menjadi favorit wisatawan lokal menyeruak masuk ke hidung, dan langsung menggoda siapa pun untuk mencicipinya.

Di antara jejeran makanan tersebut, tampak pula penjual es sachetan dan kopi keliling yang kini tengah naik daun, melengkapi hiruk-pikuk kuliner siang hari, Minggu (7/12/2025), di kawasan sekitar Museum Mulawarman Tenggarong.

Dari banyaknya pedagang, ada satu yang mencuri perhatian. Bukan karena gerobaknya paling besar, atau teriakan dagangannya yang sangat lantang. Melainkan, ada kisah menarik dari seorang penjual gado-gado yang lapaknya tampak sederhana namun dikerumuni pembeli.

Sosok itu adalah Marhama, seorang wanita cekatan berusia 34 tahun yang sejak awal siang sudah sibuk meracik bumbu kacang kental, yakni paduan kacang sangrai, kencur, cabai, dan gula merah, yang aromanya sungguh sedap.

Tangan Marhama bergerak lincah seolah-olah telah hafal ritme setiap pesanan. Senyumnya ramah, menyapa siapa pun yang berhenti di depannya, membuat suasana lapaknya terasa akrab meski terik matahari sangat menyengat.

Pembeli datang silih berganti menghampiri dagangan wanita kelahiran 1991 tersebut. Beberapa di antara dari mereka tak segan memuji, mengatakan bahwa racikan bumbu Marhama “top, enak sekali”.

Bahkan seorang jurnalis Kantor Berita Antara, Ahmad Riffandi, yang kebetulan melintas dan mencoba dagangannya, tak ingin diansul. Ia justru mendoakan agar dagangan Marhama selalu laris, “Nggak usah diansul Bu, semoga laris terus ya dagangannya.”

Tidak hanya Ahmad Riffandi. Ayu, wartawan Koran Kaltim, dan Devi, jurnalis lokal media Ujarku.co, juga tampak antusias menikmati sajian bumbu kacang ala Marhama. Keduanya bahkan turut merekomendasikannya ke rekan-rekan seprofesinya untuk ikut mencicipi.

“Coba aja, Kak, enak kok,” ujar mereka sambil mengangguk puas.

Ucapan itu bukan basa-basi belaka. Terlihat dari piring plastik di hadapan mereka, habis lingis tanpa sisa. Hanya menyisakan aroma bumbu kacang yang masih menempel di udara.

Marhama selain berjualan gado-gado, juga pencok buah sejak 2010. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Keasyikan mereka menyantap gado-gado dan pencok buah Marhama seolah menjadi bukti tak langsung, bahwa rasa yang dihasilkan dari tangan ibu dua anak ini memang mampu membuat siapa pun ingin mencoba.

Setelah mencuri perhatian para pengunjung, kisah hidup Marhama perlahan terungkap ketika dirinya duduk sejenak di kursi plastik berwarna coklat muda itu. Dengan suara yang lembut, ia pun mulai menceritakan kisah hidupnya kepada wartawan Niaga.Asia.

Marhama rupanya sudah berjualan gado-gado dan pencok buah sejak 2010. Ia pun mengaku bahwa rezekinya selalu ada saja. Meski tidak selalu ramai, namun selalu saja ada orang yang datang membeli.

“Ya alhamdulillah, ada aja pembeli. Biar enggak ramai, tetap ada yang beli,” katanya sambil tersenyum.

Perjalanan hidup Marhama tidak dimulai dari Tenggarong. Ia ternyata berasal dari wilayah Sampang, Madura, dan merantau sendiri ke Kalimantan pada tahun 2004 tanpa sanak saudara. Usianya baru menginjak 13 tahun saat ikut ke Kalimantan dengan seorang kenalannya.

“Sudah 20 tahunan merantau ke Kalimantan,” terangnya.

Sebagai anak pertama dari delapan saudara, Marhama merasa ada tanggung jawab besar di dalam dirinya untuk membantu menghidupi seluruh adik perempuannya. Tekad itulah yang membuatnya berani menempuh perjalanan jauh sejak usia belia.

Setibanya di Kalimantan, ia sempat tinggal di Samarinda. Kota itu menjadi tempatnya untuk belajar bertahan, ia bekerja apa saja, mencoba membantu adik-adiknya dari kejauhan, dan perlahan membiasakan diri dengan ritme hidup di tanah rantau.

“Soalnya saya anak pertama dari mama. Jadi saat itu (2004), ngehidupin adek-adek saya yang kecil perempuan semua. Sekarang sudah engga, sudah lepas, mereka ikut orang juga,” bebernya.

Bertahun-tahun kemudian barulah ia mulai merintis usaha gado-gado dan pencok buah. Ia awalnya berjualan keliling di Samarinda, bahkan sampai ke kelurahan Sempaja. Ketika ada teman yang mengajaknya untuk menetap berjualan di Tenggarong, Marhama mencoba mengubah pola berdagangnya.

Marhama setiap tahunnya, sebelum bulan puasa, selalu menyempatkan pulang ke Madura untuk melepas rindunya. Bulan Ramadan baginya, adalah waktu istirahat penuh dari rutinitasnya sebagai penjual gado-gado. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Tenggarong, menurutnya berbeda dari Kota Tepian, julukan Samarinda. Ia merasa, pusat ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara ini tidak begitu cocok untuk pedagang keliling karena wilayahnya minim perumahan.

Namun ada sisi positif dari hal itu, Marhama menilai banyak masyarakat Tenggarong yang sangat senang berkumpul di titik-titik tertentu, termasuk area depan Museum Mulawarman, tepat di Titik Nol Taman Tanjung. Tempat itulah yang akhirnya ia pilih sebagai lokasi tetap.

“Ya, alhamdulillah di sini aja. Lumayanlah, nggak keliling kan. Di museum ini ramai,” tuturnya

Sebelum membuka lapak sore hari, Marhama biasanya keliling lebih dulu ke kantor-kantor di hari kerja, menawarkan gado-gado kepada pegawai. Satuan Lalu Lintas dan Inspektorat Kukar menjadi dua lokasi yang paling sering ia datangi.

“Mulai Senin sampai Kamis keliling ke kantor-kantor. Saya tawarkan ke Satlantas dan Inspektorat, Alhamdulillah ada pelanggan,” syukurnya.

Harga jualnya terbilang terjangkau, gado-gado dengan telur Rp18 ribu, pencok buah Rp15 ribu, dan nasi pecel yang hanya ia jual pada akhir pekan dengan harga yang sama.

“Pecelnya cuma Sabtu dan Minggu aja. Hari-hari biasa cuma gado-gado dan pencok buah. Jualan pecel hanya di weekend karena kan di kantor itu sudah ada kantinnya yang jual nasi,” tegasnya.

Rutinitasnya berlangsung dari pagi hingga menjelang magrib. Setelah berkeliling kantor, ia biasa tiba di depan museum sekitar pukul tiga sore, tetapi semuanya kembali kepada rezeki hari itu. Jika dagangannya cepat habis, Marhama bisa pulang lebih awal. Apabila sepi, ia tetap bertahan sampai matahari turun.

“Buka lapak di depan museum biasanya dari jam tiga sore sampai jam enam mendekati waktu magrib. Kadang-kadang kalau laris, jam setengah 6 sudah pulang.”

Pendapatannya tidak menentu. Ada hari-hari dimana ia membawa pulang Rp300 ribu, ada pula hari yang hanya menghasilkan Rp50 ribu. Pernah sekali ia hanya mendapat Rp10 ribu seharian.

Ia mengangguk pelan ketika menceritakannya, seolah mengisyaratkan jika semua itu bagian dari perjalanan seorang pedagang kecil. Yang terpenting baginya adalah kesehatan. Selama tubuhnya kuat, Marhama yakin bahwa rezeki dari yang kuasa akan tetap mengalir deras dalam bentuk apapun itu.

“Itu namanya rezeki kan. Ya, alhamdulillahnya yang penting sehat.”

Sebelum membuka lapak sore hari di depan museum, Marhama biasanya keliling lebih dulu ke kantor-kantor di hari kerja, menawarkan gado-gado kepada pegawai. Satuan Lalu Lintas dan Inspektorat Kukar menjadi dua lokasi yang paling sering ia datangi. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Kini Marhama tinggal di Gang Wakaf, Melayu, tak jauh dari Pasar Tangga Arung. Ia telah berkeluarga dan memiliki dua anak. Anak pertama sudah lulus SMK, sedangkan yang bungsu masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Ia menikah tahun 2006 saat berusia 15 tahun. Suaminya, yang juga berasal dari Madura, kini bekerja sebagai seorang buruh bangunan di Tenggarong. Anak pertamanya lahir pada tahun 2007, tepat diusianya yang ke 16 tahun.

Di kala anak-anak seusia Marhama masih asik bermain, ia justru harus menjadi perempuan tangguh. Merantau jauh dari sanak saudara, melangkahkan kakinya untuk menghidupi tujuh adik perempuannya di Madura.

Meskipun sudah bertahun-tahun merantau, hubungan dengan keluarga di kampung tetap terjaga. Marhama rutin mengirim sebagian pendapatannya, setiap minggu untuk anak-anaknya yang tinggal di kampung dan setiap bulan untuk orang tuanya.

Ia mengaku bahwa sejak kecil telah terbiasa memikul tanggung jawab keluarga, sehingga membantu mereka dari jauh bukanlah beban. Melainkan bagian dari hidupnya yang harus dijalani penuh keikhlasan serta rasa syukur.

“Alhamdulillah yang penting saya sehat. Ada uang kalau nggak sehat apa, ibaratnya punya uang kan jadi enggak ada gunanya.”

Entah berapa kali Marhama menyebut syukur selama perbincangan siang itu. Rasanya ada banyak syukur di dalam dadanya. Kalimat “Alhamdulillah yang penting sehat,” selalu dia utarakan walau kisah hidupnya sungguh pelik sejak usianya masih belia.

Harapan Marhama sederhana, tetap sehat, tetap bisa berjualan, dan anak-anaknya bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi, rajin belajar, rajin mengaji dan taat beribadah kepada yang empunya kehidupan ini.

“Sehat-sehat di kampung. Nurut sama orang tua, ngaji di sana, pintar, sekolahnya rajin. Itu harapan saya sebagai orang tua,” pesannya kepada kedua buah hatinya.

Setiap tahunnya, sebelum bulan puasa, ia selalu menyempatkan pulang ke Madura untuk melepas rindunya. Bulan Ramadan baginya, adalah waktu istirahat penuh dari rutinitasnya sebagai salah satu pedagang kaki lima di Kota Raja, julukan Tenggarong.

“Alhamdulillah saya sebelum puasa pulang bertemu dengan anak-anak. Setiap tahunnya sebelum puasa memang pulang ke kampung. Soalnya puasa enggak jualan.”

Matahari masih tinggi di langit Kota Raja, ia pun kembali sibuk melayani para pelanggan. Tangan lincahnya kembali meracik bumbu kacang kental yang menjadi daya tarik utama dagangannya.

Begitulah kisah Marhama, seorang wanita tangguh pandai bersyukur yang berani merantau sendirian ke Kalimantan.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: