
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Program Wali Kota Samarinda Andi Harun yang menjanjikan buku pembelajaran gratis di sekolah negeri kembali dipertanyakan. Pasalnya, seorang wali murid di SDN 017 Sungai Pinang mengaku masih menemukan praktik jual-beli Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibungkus dengan istilah ‘tidak wajib, tetapi penting’.
Shanty Ramadhania, salah satu orang tua murid, menceritakan kronologi dugaan praktik ini kepada Niaga.Asia, Jumat (26/9). Wanita berusia 34 tahun tersebut mengaku mendapat informasi dari grup paguyuban orang tua SDN 017 Sungai Pinang sejak awal September.
“Sebenarnya enggak disuruh (diwajibkan), cuma direkomendasikan. Ada postingan di grup, tulisannya itu tidak diwajibkan untuk membeli. Tapi diarahkan belinya di alamat rumah salah satu guru, lengkap dengan sharlok,” ucapnya, didampingi Ketua TRC-PPA Kaltim Rina Zainun.
Atas pengumuman itu, ia pun dibuat heran sebab, Shanty mengaku sengaja memindahkan anaknya dari sekolah swasta ke sekolah negeri karena percaya dengan program Pemkot Samarinda dibawah kepemimpinan Andi Harun soal buku gratis.
Namun, ketika ia berusaha menanyakan hal ini ke grup paguyuban, tak ada tanggapan dari orang tua maupun wali kelas. Bahkan saat Shanty menghubungi wali kelas langsung, juga tak mendapat jawaban.
“Program Pak Andi Harun memang beredar di sosial media seperti Facebook, TikTok, dan dimana-mana. Jadi saya tanyakan, tapi tidak ada respon di grup itu,” jelasnya.
Tidak menyerah, Shanty akhirnya datang ke sekolah pada tanggal 25 September, meski saat itu kegiatan belajar sedang diliburkan. Ia kemudian bertemu dengan wali kelas anaknya serta seorang guru lain bernama Atul, yang disebut-sebut sebagai salah satu pihak yang menyediakan buku.
Kepala sekolah bahkan turut dihubungi via telepon. Menurut Shanty, penjelasan yang diberikan justru membuat dirinya semakin bingung. Seolah-olah buku tidak diwajibkan untuk dibeli, namun istilah lain menyebutkan buku ini penting sehingga harus dibeli.
“Kepala sekolah bilang LKS tidak wajib, tapi penting untuk menunjang nilai. Diibaratkan ini ada gelas, mau setengah gelas saja atau full sampai bibir. Kalau memang maunya penuh sampai bibir, ya harus beli buku itu. Berarti kan sifatnya menjadi wajib,” terangnya.
Buku yang ditawarkan terdiri dari tujuh materi, masing-masing seharga Rp20 ribu, dengan total Rp140 ribu. Shanty menegaskan dirinya bukan tidak mampu membeli buku, namun ia menolak karena merasa kebijakan Pemkot sudah jelas. Ia juga percaya bahwa perintah Walikota Andi Harun harus dipatuhi sekolah negeri di Samarinda.
“Saya tetap beli pun enggak masalah, tapi saya minta ganti sama Pak Andi Harun. Karena janji pemerintah kan buku itu gratis, semua ada dananya,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan isi pertemuan di tanggal 25 September. Shanty mengaku juga mendapat intimidasi. Ia menghitung ada sekitar 10 guru hadir saat itu, termasuk wali kelas anaknya, serta kepala sekolah melalui sambungan telepon.
“Saya dikelilingi 10 guru. Saya ditanya balik dan dibentak. Mereka bahkan menantang saya untuk mendatangkan langsung Pak Walikota ke sekolah.Ibu kalau mau melapor silahkan, begitu katanya,” bebernya.
Yang lebih mengejutkan lagi, sempat ada ancaman anaknya bisa dikeluarkan dari sekolah. Shanty terlihat tak kuasa menahan air matanya, ia menangis saat menceritakan hal tersebut.
“Anak saya tidak salah, dan enggak berbuat kesalahan yang merugikan sekolah. Hanya karena saya mempertanyakan program buku gratis, muncul ancaman seperti itu. Anak saya mau dikeluarkan karena saya sebagai wali murid tidak bisa diatur. Saya takut nanti ada pembullyan atau pilih kasih terhadap anak saya,” ungkapnya dengan suara bergetar.
Shanty menegaskan, kasus ini juga sudah ia laporkan ke dinas pendidikan. Ia berharap Pemkot Samarinda bijak menindaklanjuti masalah ini, agar program buku gratis berjalan sebagaimana mestinya dan tidak ada lagi pungutan terselubung di sekolah negeri.
“Harapan saya, jangan ada lagi praktik jual-beli buku seperti ini sesuai program pak Andi Harun. Anak saya berhak mendapat perlakuan yang sama. Jangan sampai karena saya mempertanyakan program pemerintah, mental anak saya yang jadi korban,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Niaga.Asia masih berusaha menghubungi pihak sekolah serta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Samarinda Asli Nuryadin. Namun belum ada respon.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Pendidikan