Mendapatkan Obat-obatan yang Terjangkau Adalah Hak Asasi Manusia

aa
Kepala BPPK Kementerian Luar Negeri, Dr. Siswo Pramono, Prof. Carlos M. Correa, Direktur Eksekutif South Centre,  dan Dindin Wahyudin, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri di Regional Workshop on Access to Medicines and Intellectual Property Rights pada tanggal 18-19 September 2019 di Sari Pacific Hotel, Jakarta. (Foto Kemlu)

JAKARTA.NIAGA.ASIA- Dindin Wahyudin, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri sebagai organizing committee mengatakan bahwa akses untuk mendapatkan obat-obatan yang terjangkau adalah hak asasi manusia.

“Masuknya produk farmasi sebagai objek yang dilindungi oleh paten, sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan The Agreement on Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), menjadi penghalang utama, terutama bagi negara-negara berkembang,” kata Dindin di acara Regional Workshop on Access to Medicines and Intellectual Property Rights pada tanggal 18-19 September 2019 di Sari Pacific Hotel, Jakarta yang dirilis laman kemlu.go.id..

Sementara  Kepala BPPK Kementerian Luar Negeri, Dr. Siswo Pramono mengatakan bahwa penting bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan fleksibilitas dan safeguards yang ada di dalam perjanjian-perjanjian perdagangan internasional, yang pada akhirnya meningkatkan akses terhadap obat-obatan esensial di Regional Workshop on Access to Medicines and Intellectual Property Rights pada tanggal 18-19 September 2019 di Sari Pacific Hotel, Jakarta.

“Dewasa ini, persaingan industri kesehatan di dunia semakin ketat. Meskipun industri kesehatan global terus menunjukkan angka peningkatan produksi, tidak seluruh masyarakat mendapatkan akses yang sama terhadap obat-obatan esensial dan layanan kesehatan, terutama di negara-negara berkembang.  Permasalahan kesehatan global menjadi tanggung jawab seluruh pemerintah negara, termasuk dalam menjamin pertumbuhan industri kesehatan sebagai penyuplai produk farmasi dan vaksin,” ungkapnya.

Lokakarya ini akan membahas pengalaman berbagai negara khususnya terkait langkah-langkah konsisten yang dapat diadopsi dan diterapkan guna meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan obat-obatan yang lebih terjangkau.

Prof. Carlos M. Correa, Direktur Eksekutif South Centre, mengatakan bahwa sebagian besar pemegang paten produk farmasi dewasa ini dimonopoli secara legal oleh produsen dari negara maju, dan hal itu membuat obat-obatan tertentu menjadi sangat mahal.

“Untuk itu, melalui lokakarya ini, para pelaku dari negara berkembang yang hadir akan bersama-sama menggali berbagai celah dan fleksibilitas yang ada dalam pasal-pasal perjanjian internasional agar negara-negara berkembang bisa mendapatkan obat-obatan berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau,” ujarnya.

Regional Workshop on Access to Medicines and Intellectual Property Rights dihadiri oleh 50 peserta yang merupakan perwakilan dari pemerintah, organisasi internasional, masyarakat sipil, akademik, dan sektor swasta dari Indonesia, negara-negara anggota ASEAN, dan negara-negara anggota WHO di Asia Tenggara.

Pelaksanaan lokakarya ini sangat tepat waktu mengingat di tahun 2020 Indonesia akan menjadi koordinator dari Foreign Policy and Global Health (FPGH). FPGH dibentuk untuk  mendorong negara-negara di dunia   untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah kesehatan global di dalam kebijakan luar negeri-nya. Forum terdiri dari para Menteri Luar Negeri dari 7 (tujuh) negara, yaitu  Indonesia, Brasil, Prancis, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan, dan Thailand. (001)

 

 

Tag: