Mengapa Air Menjadi Masalah di Samarinda

misman
Ketua GMSSSKM Samarinda, Misman di acara “Curhat Karang Mumus Mau Dibawa Kemana” mengatakan Samarinda sudah kehilangan terlalu banyak kawasan rawa-rawa.

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Tanggal  22 Maret ditetapkan menjadi Hari Air. Dalam kebudayaan apapun mengajarkan air sebagai sesuatu yang maha penting. Air digambarkan sebagai emas (tirta kencana), kehidupan (tirta amerta) dan kesucian. Ada juga yang menyebut “Air Sumber Kehidupan”.

Namun dalam perilaku sehari-hari terlalu banyak contoh yang membuktikan bahwa manusia abai terhadap pentingnya air. Air hanya dinikmati dan diekploitasi. Mungkin manusia menganggap punya  banyak air, sehingga air tidak dijaga, tidak dirawat. Hasilnya saat ini banyak manusia mengalami masalah terkait dengan air. Air bersih dan sehat kini bahkan menjadi sebuah kemewahan bagi banyak.

“Kedepan kita akan menghadapi lebih banyak masalah lagi terkait dengan air, baik ketika air terlalu banyak, terlalu sedikit, atau ketika air terlalu kotor,” kata Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSSSKM) Samarinda, Misman dalam makalahnya  berujudl “Alam Untuk Air” yang disampaikan dalam Seminar Hari Air Duni Ke-26 Tahun 2018 yang diselenggarakan Balai Sungai Wilayah Kalimantan III di Samarinda, Rabu (14/3).

Turut menjadi narasumber dikegiatan tersebut  Kepala Balai Sungai Wilayah  Kalimantan lll, Anang Muchlis dengan materi paparan berjudul “Pembangunan Infrastruktur SDA Kaltim-Kaltara” dan anggota HATHI Kaltim, Eko Wahyudi, memaparkan makalah berjudul “Pengendalian Daya Rusak Air”.

Mengapa air menjadi masalah di Samarinda,  kata Misman,  karena  ketika air hujan  telalu banyak, musim hujan diidentikkan dengan musim banjir. Ketika air terlalu sedikit, kekeringan mengancam dan itu diistilahkan dengan musim kemarau. Ketika badan air menjadi tempat pembuangan limbah dan sampah dari aktivitas domestik dan isndustri, air menjadi terlalu kotor. “Ketiga hal itu kini sudah dihadapan kita,” ujarnya.

Sekolah Sungai Karang Mumus

Salah satu penyebab Samarinda bermasalah dengan air adalah, masyarakat tidak memahami hakekat akan keberadaan rawa-rawa yang ada di kiri-kanan  sungai yang mengalir membelah Kota Samarinda. “Kita semua sangat mengerti bahwa permukaan daratan Samarinda rata bahkan tahu ada yang lebih rendah dari permukaan Sungai Mahakam, tapi tidak mau tahu akan fungsi rawa di kawasan yang letaknya lebih rendah dari  Sungai Mahakam,” ujar Misman.

cara
Roundown Peringatan Hari Air Dunia yang diselenggarakan Balai Sungai Wilayah Kalimantan III.

Dijelaskan pula, Samarinda sudah kehilangan rawa dalam ukuran ribuan hektar dan akan terus bertambah akibat diuruknya rawa untuk kepentingan permukiman dan membuka kawasan perdagangan. “Tidak ada kebijakan dibuat untuk menghentikan okupasi atas rawa-rawa,” ungkapnya.

Akibat kehilangan rawa-rawa, akibatnya entah berapa ribu warga Samarinda selalu hidup dalam kekhawatiran setipa kali hujan lebat turun, saat msuim air laut pasang, atau kedua-duanya datang bersamaan. “Kalau kita ingin kota ini menjadi kota layak huni, salah satunya adalah bagaimana kita mempertahankan rawa-rawa, jika perlu memperluas kembali,” kata Misman.

Keberadaan rawa-rawa sebagai pengendali air secara alami tidak akan bisa digantikan kolam-kolam buatan manusia yang sering disebut dengan polder, selain luasannya berbeda, mekanisme rawa dengan polder dalam mengendalikan air juga tidak sama. “Kita ini sebetulnya sudah berpikir keliru selama ini,” Misman berucap.

Meski pengamanan akan kawasan rawa terlambat, tapi menurut Misman, masih ada kawasan rawa-rawa yang bisa diselamatkan, terutama di wilayah ulu dari sungai-sungai yang ada di Samarinda. “Tapi kalau tidak segera dibuat peraturan perundang-undagan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka rawa yang tersisa akan hilang dalam 10 tahun yang akan datang,” terangnya.

Menurut Misman, pengabaian manusia terhadap air akan melahirkan malapetaka yang tidak ahnya mendera manusia, tapi semua mahkluk hidup di muka bumi, tanpa air tak ada kehidupan. Berbagai mahkluk hidup yang hidup di dalam tanah, menjadi tidak kebagian air atau kehilangan akses ke air sebab sungai dibeton. “Ada banyak contoh rekayasa air air yang hanya ditujukan untuk manusia justru menghasilkan kematian bahkan kepunahan mahkluk hidup lainnya,” ujarnya. (intoniswan)