Mengapa Begitu Banyak Orang Tertipu di Internet?

AA
Seiring perkembangan teknologi, masyarakat kian sering menerima penawaran atau iklan palsu melalui surat elektronik maupun telepon.

PAKAR psikologi menyelidiki trik umum yang biasa digunakan para penipu untuk mengelabui orang serta ciri orang yang paling mungkin merelakan uangnya. Jika ada memiliki kotak surat elektronik (surel), Anda barangkali mendapatkan spam atau pesan yang tidak anda inginkan.

Apabila anda mempunyai akun surel, Anda mungkin juga mendapatkan spam. Jika anda memiliki telepon, anda barangkali menerima panggilan terkomputerisasi. Pesan yang tak anda inginkan dan permohonan secara rutin membombardir kita. Kebanyakan dari kita memencet tombol ‘abaikan’, menghapus atau membuang pesan spam ke kotak sampah.

Alasannya, kita tahu pesan dan tawaran itu hampir dapat dipastikan sebagai tipuan yang menyasar ke masyarakat luas. Namun, tidak semua yang menerima pesan itu seberuntung Anda.

Pesan tipuan semacam itu menyebabkan merugikan orang per orang, badan usaha, dan lembaga pemerintah, triliunan dolar Amerika Serikat setiap tahun. Banyak korban menanggung depresi dan dampak kesehatan buruk lainnya.

Faktanya, tidak ada kejahatan model lain yang mempengaruhi begitu banyak orang dari berbagai kelompok usia, latar belakang, dan letak geografi. Tapi mengapa orang-orang terpengaruh pesan dan spam seperti itu? Saya dan beberapa rekan mulai menjawab pertanyaan ini. Beberapa temuan kami mirip dengan hasil penelitian lain, meski sejumlah kajian itu menggugat asumsi dasar soal tindak pidana penipuan.

Penipuan kian marak

Bursa pertaruhan, lotre, dan penipuan massal tanpa terduga menjadi hal yang semakin umum dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga Better Business Bureau melaporkan, setidaknya terdapat 500 ribu keluhan berkaitan dengan penipuan taruhan dan lotre selama tiga tahun terakhir. Kerugian yang muncul hampir sebesar US$350 juta atau Rp5 ribu triliun.

Pada periode sebelum ini, penipuan macam ini dilakukan sejumlah kecil pelaku lokal dengan metode tatap muka, barangkali di seminar investasi yang menjanjikan peluang meraih bangunan real estate palsu.Kala itu penipuan dilakukan melalui cara lawas. Namun kini semakin banyak yang dikoordinasikan tim lintas negara, termasuk beberapa kelompok di Jamaika, Kosta Rika, Kanada, dan Nigeria.

Beberapa tahun belakangan, penipuan berkembang menjadi tindak kriminal global, seiring ongkos teknologi yang makin murah, namun secara simultan memberi kemudahan untuk menggaet jutaan konsumen dalam waktu singkat. Di sisi lain, semakin sulit menangkap dan menindak para pelaku kriminal ini. Misalnya, telepon terkomputerisasi muncul di gawai anda seolah-olah dari daerah anda, padahal berasal dari India.

Alasan orang tertipu

Bertujuan mengkaji seberapa mudah konsumen terpengaruh tipuan massal, saya dan rekan penulis saya mengulas 25 penawaran yang menipu publik. Untuk kesamaan tema, kami mencarinya dari kantor pengawas pos Los Angeles.

Sejumlah tipuan itu menyertakan beberapa merek yang familiar di telinga masyarakat, seperti Marriott atau Costco, untuk meningkatkan kredibilitas dan ‘otoritas’ mereka.

Para penipu itu kerap menggunakan teknik persuasi seperti berpura-pura menjadi bisnis yang sah dan menampilkan kode area tertentu sebagai kesan tak asing. Mereka juga menggunakan klaim tenggat waktu tertentu untuk mendorong niat konsumen. Sejumlah tipuan melalui surat yang kami ulas terlihat warna-warni, memuat foto uang atau hadiah serta pemenang terdahulu.

Surat tipuan lainnya tampak profesional dan menyertakan teks yang terlihat seolah legal, sekaligus memunculkan kesan yang tak menyalahi hukum. Kami kemudian membuat prototipe surat tipuan yang menginformasikan konsumen bahwa mereka telah terpilih menjadi pemenang serta memberikan nomor aktivasi yang harus dikontak untuk mengklaim hadiah.

Kami membuat empat versi tipuan, yang kami kirim secara acak, baik untuk mengesankan keseriusan (“Kami mendapatkan nama anda dari Target”) atau mendesak konsumen (“Harus ditindaklajuti sebelum tanggal 30 Juni”). Tujuannya, memastikan faktor pendorong yang memotivasi konsumen untuk segera memberi respon.

Kajian itu didesain untuk meragakan skenario sesungguhnya—meski partisipan tahu mereka adalah bagian dari percobaan—dan menguji faktor yang diduga meningkatkan resiko, seperti kenyamanan hitung-hitungan dan angka, kesendirian, dan pendapatan rendah.

Pada percobaan pertama, kami meminta 221 peserta menunjukkan keinginan mereka menghubungi nomor aktivasi yang tertera di surat. Mereka lalu diminta menaksir keuntungan dan resiko merespon surat itu dalam skala angka 10 dan mengisi jajak pendapat untuk mengenal tingkat numerik, interaksi sosial, demografi, dan keadaan finansial.

Kami menemukan bahwa, 48% peserta bersedia menghubungi nomor dalam surat, seperti apapun surat yang mereka terima. Konsumen yang menunjukkan kesediaan merespon tipuan itu cenderung muda dan lebih rendah secara pendidikan. Partisipan seperti ini juga cenderung tak menganggap menghubungi kontak itu berbahaya dan menilai keuntungan yang akan mereka dapatkan besar.

Dalam penelitian kedua yang melibatkan 291 orang, kami menggunakan surat yang sama dengan percobaan pertama, namun menambahkan ongkos aktivasi nomor kepada ke setengah surat itu.

Artinya, sebagian peserta diberitahu, untuk mengambil hadiah, mereka harus membayar biaya sebesar US$5 atau sekitar Rp72 ribu, sementara peserta yang lain diminta ongkos sebesar US$100 atau Rp150 ribu.

Sejumlah partisipan tak melihat perbedaan dengan eksperimen sebelumnya: Seluruh desain dibuat indentik, kecuali beberapa pertanyaan survei tambahan yang berkaitan dengan situasi finansial peserta.

Kami berhipotesa, mereka yang bersedia menghubungi dan membayar US$100 sangat rentan menjadi korban penipuan. Bahkan dengan biaya aktiviasi hadiah, 25% peserta menunjukkan keinginan menghubungi nomor yang tersedia, termasuk lebih dari satu perlima peserta padahal tahu kontak itu harus ditebus senilai US$100.

aa
Melalui surel, sindikat melampirkan tombol tertentu untuk mengklaim hadiah yang sebenarnya tipuan.

Serupa dengan percobaan pertama, partisipan yang menganggap surat hasutan itu memuat keuntungan menunjukkan intensi untuk menghubungi nomor aktivasi. Kami menilai eksperimen seperti ini akan membantu kami mengidentifikasi korban dengan kerentanan tertentu, seperti manula.

Namun sebaliknya, konsumen yang tertarik dengan hasutan pesan itu menunjukkan kecenderungan yang sama: mereka melihat indikasi keuntungan lebih besar daripada resiko. Tidak ada perbedaan signifikan tentang respon terhadap surat hasutan, baik dari segi usia, jenis kelamin, maupun data demografi lain.

Meskipun sekitar 60% partisipan menanggap surat hasutan itu sebagai tipuan, mereka tetap masih melihat peluang keuntungan. Dalam kondisi tertentu, biaya tambahan dalam surat itu barangkali mirip lotre tak resmi—murah tapi punya peluang gagal yang besar.

Meski konsumen waspada, mereka tidak benar-benar mencoret peluang meraih keuntungan besar dan secara terang-terangan bersedia menangung resiko. Sayangnya, konsumen sering menganggap mampu menanggung kerugian jika mereka benar-benar tipuan.

Jika calon korban penipuan teridentifikasi setelah merespon hasutan nyata melalui telepon atau menekan iklan muslihat, mereka barangkali memang telah diincar melalui telepon, surel atau surat.

Apa yang perlu kita lakukan?

Bagi banyak orang, tipuan melalui surel sampah, surat bodong atau telepon terkomputerisasi benar-benar mengganggu. Namun beberapa orang lain menganggapnya sebagai gangguan dan jebakan.

Melindungi diri anda dari tipuan itu, anda harus berhati-hati dan menggunakan sejumlah hal untuk menghindarinya. Terdapat beberapa layanan dan aplikasi gawai yang membantu menyeleksi telepon dan mencegah pencurian.

Beberapa perusahaan telepon juga menyediakan layanan serupa. Sejumlah pendidikan terhadap konsumen atas potensi kerugian itu juga dapat membantu anda.

Penting juga untuk menolak menekan dan merespon material yang mencurigakan di internet. Konsumen yang secara cepat menemukan penawaran sebagai resiko lalu mengabaikannya tanpa menghabiskan waktu lebih aman dari ancaman penipuan.

Sosialisasi persepsi soal keuntungan dan resiko merupakan faktor terpenting dalam menuruti tawaran palsu, konsumen seharusnya fokus pada resiko dan mencegah diri mereka tertipu daya oleh potensi keuntungan yang fana.

Sumber: BBC News Indonesia