Mengejar Masa Depan, Ratusan Anak PMI Rela Hidup Terpisah

Sebanyak dua ratus lebih anak pekerja Indonesia di Malaysia ini akan hidup terpisah dari orangtuanya untuk beberapa tahun ke depan, karena untuk mengejar masa depan yang lebih baik akan bersekolah di berbagai daerah di Indonesia. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia).

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Tidak ada yang mengetahui pasti seberapa banyak anak Indonesia tak bisa mengenyam pendidikan karena ikut sama orangtuanya, baik sebagai pekerja migran Indonesia legal dan tidak legal di Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah tersebut, sehari-hari harus menjalani hidup dalam kawasan perkebunan sawit di Malaysia di pedalaman Malaysia. Bahkan kalau orangtuanya sudah menjadi pekerja ilegal, harus ikut bersembunyi dalam hutan apabila Polisi Malaysia melakukan razia terhadap pekerja ilegal, yang disebut aparat Malaysia sebagai pendatang ilegal.

Soal pendidikan anak pekerja Indonesia di Malaysia baru mendapat perhatian pemerintah Indonesia dalam 4 tahun terakhir, setelah sejumlah lembaga swadaya masyarakat dengan susah payah mendirikan sekolah informal di ladang-ladang sawit.

Kerja LSM (lembaga sawadaya masyarakat) kemudian diikuti Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia, maka soal pendidikan anak pekerja Indonesia itu akhirnya bisa diselenggarakan secara formal dan juga dapat diterima Pemerintah Malaysia.

Awal minggu ini, sebanyak 242 anak pekerja Indonesia tiba di Nunukan. Mereka itu  adalah anak-anak pekerja Indonesia yang mengikuti program repatriasi untuk melanjutkan pendidikan setingkat SLTA hingga Perguruan Tinggi tahun ajaran 2021/2022 di berbagai daerah di Indonesia.

Ketika Niaga.Asia melihat anak-anak yang umurnya berkisar 15 tahun tersebut di Pelabuhan Tunon Taka Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, raut wajah bahagia terpancar  dari mereka, meski hari itu adalah hari mereka mulai hidup terpisah dari orangtuanya yang meneruskan mencari nafkah di negei jiran.

Anak-anak pekerja Indonesia itu sebagian ada yang lahir dan tumbuh remaja di Malaysia dan ada pula yang lahir di Indonesia, kemudian dibawa orangtuanya ke Malaysia.  Sebelum melanjutkan pendidikan di Indonesia, mereka sudah bersekolah di sekolah Community Learning Center (CLC) dan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) Sabah, Malaysia, sekolah setara SLTP/SMP.

Saat ini, anak-anak pekerja Indonesia itu sedang menjalani karantina di SMKN 1 Nunukan, sesuai ketentuan yangdiberlakukan Satgas COVID-19, dimana setiap warga negara Indonesia yang baru datang dari luar negeri wajib di karantina dulu selama 5 hari, setelah itu baru melanjutkan perjalanan.

Anak-anak pekerja Indonesia itu, sebelum diberangkatkan dari Tawau, Sabah, Malaysia ke Nunukan, telah juga menjalani swab antigen dengan hasil negatif. Setelah menjalani karantina, mereka akan meneruskan perjalanan ke sejumlah daerah di  pulau Jawa,  Kalimantan, Sulawesi, bahkan hingga ke Sumatera. Mereka sebagian besar akan duduk di bangku SMA dan sebagian kecil, beberapa orang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi.

Supardi, anak pekerja Indonesia ini sekarang kuliah di Politeknik Sriwijaya Palembang, semester VI. Ia ke Nunukan untuk mendampingi yuniornya yang akan melanjutkan perjalanan ke sejumlah daerah melanjutkan pendidikan setara SLTA.  (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

Dari Nunukan nanti, tiap rombongan pelajar yang diberangkatkan ke sekolah tujuan mendapatkan satu orang pendamping. Pendamping mereka adalah dari alumni program yang sama yang telah menyelesaikan pendidikan di Indonesia.

“Mereka itu melanjutkan sekolah di Indonesia setelah lulus di CLC atau SIKK,” kata Supardi, alumni CLC beberap tahun lalu  pada Niaga Asia, Kamis (15/04).

Supardi, remaja berusia 21 ini adalah lulusan pertama CLS Mustin, Kunak, Malaysia tahun 2015. Anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini  mendampingi 242 pelajar repatriasi sejak dari Tawau, Senin 14 April 2021.

Sejak berusia 7 hari, Supardi dibawa orangtuanya ke Malaysia yang bekerja sebagai buruh perusahaan sawit. Sejak itu dia hidup dan besar di mess perusahaan sawit,  berkumpul dengan ratusan anak pekerja Indonesia lainnya.

“Saya merasakan susahnya hidup di Malaysia, apalagi bagi kami anak-anak yang tidak memiliki dokumen paspor,” kata Supardi.

Meski hidup di mess, orangtua Supardi meminta anaknya tetap bersekolah di CLC.

Berkat kegigihannya belajar, Supardi berhasil menyelesaikan pendidikan  setara SMP, bahkan sekaligus terpilih sebegai pelajar berprestasi dan mendapatkan beasiswa program repatriasi generasi pertama.

“Karena saya masuk repatriasi, panitia meminta saya kembali ke Makassar (Indonesia) membuat Kartu Tanda Penduduk sebagai syarat penerbitan paspor,” ujarnya.

Menurut Supardi, sewaktu  tinggal di Malaysia, karena tak memiliki pasport,  ia  sering kali berlari sejauh-jauhnya tidak perduli siang atau malam buta ke dalam hutan dan pebukitan demi menghindari pemeriksaan Polisi Malaysia.

“Kebiasan lari menghindari pemeriksaan Polisi Malaysia bukanlah hal aneh lagi, puluhan bahkan ratusan anak-anak PMI yang ikut dengan orang tuanya bersembunyi menginap di hutan – hutan sawit,” ungkapnya.

“Sudah menjadi hal yang biasa, anak pekerja Indonesia yang belum memiliki pasport  bersembunyi ke dalam huta saat Polisi Malaysia razia di kawasan perkebunan sawit,” kata Supardi.

Keberhasilan menyelesaikan pendidikan di CLC Malaysia  adalah sebuah anugerah dan patut disyukuri. Di CLC dan SIKK, anak-anak pekerja Indonesia  mendapatkan pendidikan berkurikulum Indonesia.

Sedangkan anak pekerja Indonesia yang bersekolah di sekolah dasar (SD) Humana mata pelajarannya atau kurikulumnya Malaysia.

“Saya sendiri dulu sekolah di SD Humana,” kata Supardi.

Diterangkan Supardi,  anak-anak pekerja Indonesia yang menempuh pendidikan di CLC,  diperkenalkan  kultur dan budaya Indonesia yang sebelumnya hanya diketahui lewat siaran televisi ataupun handphone,  dan bahasa baku Indonesia.

“Lulusan CLC atau SIKK pasti menguasai berbahasa Indonesia dan mengenal budaya nenek moyang mereka,” tuturnya.

Anak-anak pekerja Indonesia  sempat kehilangan semangat bersekolah karena keterbatasan biaya. Tapi semangatnya  mereka bangkit lagi  ketika diawal tahun 2020, Pemerintah Indonesia mengirimkan puluhan guru mengajar di Malaysia.

Supardi  yang saat ini menempuh pendidikan di Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang,  semester VI ini bercita-cita menjadi dosen di Indonesia dan ingin mengabdikan dirinya untuk negeri Indonesia.

Kepala KJRI Tawau, Heni Hamidah memberikan motivasi kepada anak-anak PMI yang  bersekolah di Indonesia. (Foto KJR Tawau/iaga.Asia)

Kepala KRI Tawau, Heni Hamidah pada Niaga Asia mengungkapkan, alumni CLC dan SIKK itu  masuk dalam program repatriasi tahunan kerja sama Kemdikbud dengan KRI Tawau dan KJRI Kinabalu dan Yayasan Pendidikan Sabah Bridge. Mereka  penerima beasiswa  tahap ke-4 .

“Dari 242 yang sudah tiba di Nunukan hari ini, 102 laki-laki dan 140 perempuan. Satu anak lagi masih di Tawau, dan akan disusulkan  diberangkatkan ke Nunukan,” katanya Heni.

Penerima beasiswa terbagi dalam beberapa jalur masing-masing Jalur Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) sebanyak 196 orang pelajar, Jalur Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) sebanyak 4 orang, yayasan/sekolah sebanyak 39 orang, dan Jalur Mandiri sebanyak 3 orang.

Mereka akan melanjutkan pendidikan di beberapa sekolah mitra yang sudah dipersiapkan di Indonesia, antara lain di Banten 46 orang, Jawa Barat 40 orang, Jawa Tengah 62 orang, Yogyakarya 12 orang, Jawa Timur 26 orang, Lampung 5 orang, Kalimantan Selatan 32 orang, Sulawesi Selatan 18 orang, dan Kalimantan Tengah 1 orang.

“Jumlah anak PMI yang  dipulangkan ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tahun 2021 sebanyak 602 orang,” pungkasnya

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: