Menkeu: Prinsip Transisi Energi Seharusnya Adil dan Terjangkau

Forum bisnis bertajuk “Sustainable Finance: Instruments and Management in Achieving Sustainable Development of Indonesia”, di Hotel Sofitel Nusa Dua Bali, Rabu (13/07/2022).

BALI.NIAGA.ASIA –  Prinsip transisi energi seharusnya adil dan terjangkau. Ini adalah salah satu tugas yang paling menantang.

Hal ini disampaikan  Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat berbicara pada Side Event G20 yang bertajuk “Sustainable Finance: Instruments and Management in Achieving Sustainable Development of Indonesia”, pada Rabu (13/07) di Bali.

“Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission dalam upaya penanganan perubahan iklim. Salah satunya dengan mentransisikan produksi energi yang sebelumnya berbasis fosil dengan energi terbarukan sekaligus membangun ekonomi hijau secara adil dan terjangkau,” kata Menkeu.

Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan prinsip keterjangkauan ini bermula dari tantangan ketika menentukan cara mengurangi energi yang tidak terbarukan, terutama batubara, diganti dengan penggunaan dan pembangunan energi terbarukan secara lebih banyak.

Namun demikian, Menkeu mengingatkan bahwa hal ini akan memiliki konsekuensi yang serius pada sisi pembiayaan.

“Penghentian penggunaan batubara itu tidak bebas biaya. Mahal sebenarnya, karena akan berdampak pada PLN dalam hal biaya produksi listriknya. Jika konsekuensi biaya meningkat, maka harga listrik menjadi lebih mahal,” tandas Menkeu.

Untuk itu, Menkeu mengatakan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menguji prinsip keterjangkauan transisi energi ini. Pertama, dengan melihat daya beli masyarakat.

“Artinya masyarakat dan industri harus mengkonsumsi listrik yang harganya jauh lebih mahal, mampukah mereka membelinya? Itulah keterjangkauan,” jelas Menkeu.

Kedua, dengan melihat kemampuan PLN, Menkeu mengatakan jika masyarakat dan industri ternyata tidak mampu membayar harga listrik yang lebih tinggi, maka PLN yang akan menyerap kerugian akibat hal tersebut.

Menkeu melanjutkan bahwa PLN berpotensi akan mengalihkan kerugian tersebut kepada Pemerintah. Sehingga,  Menkeu menyebut aspek keterjangkauan yang ketiga adalah dari sisi APBN untuk memberikan subsidi.

Dengan demikian, apabila ketiga aspek itu diperhatikan dengan baik, maka menurut Menkeu Indonesia akan mampu mentransisikan penggunaan energi dari yang tidak terbarukan menjadi terbarukan tanpa merusak ekonomi rakyat, bisnis dan situasi keuangan PLN, serta anggaran Pemerintah.

“Karena pertanyaan tentang keterjangkauan adalah siapa yang harus membayar, berapa yang harus kita bayar dengan cara yang terjangkau,” pungkas Menkeu.

Sumber: Humas Kemenkeu | Editor: Intoniswan

 

 

Tag: