Menteri LHK : Kita Menolak Terminologi Deforestasi yang Tidak Sesuai dengan Kondisi Indonesia

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)  Siti Nurbaya ketika berbicara dihadapan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Selasa (2/11/2021). (Foto Kementerian LHK)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Pemerintah Indonesia  menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)  Siti Nurbaya menyampaikan itu saat  memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Selasa (2/11/2021).

Pada kesempatan ini kembali ditegaskan bahwa FoLU Net Carbon Sink 2030 jangan diartikan sebagai zero deforestation. Ini perlu dipahami semua pihak bagi kepentingan nasional.

Melalui agenda FoLU Net Carbon Sink, Indonesia menegaskan komitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (diantaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.

”Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan. Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tegas Menteri Siti, sebagaimana rilis untuk media, Rabu (3/11/2021).

Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.  Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan disamping tentu saja harus berkeadilan.

Menteri Siti engajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain, karena disitu ada persoalan cara hidup, gaya hidup termasuk misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika, dan lainnya.

”Jadi harus ada compatibilty dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci,” tegasnya.

Menteri Siti lantas memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju dikatakan sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an. Selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan. Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut net zero emission.

”Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,” tegas Menteri Siti.

Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.

”Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” kata Menteri Siti.

Dengan target penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia terus berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten. Karena itu tidak bisa membandingkan upaya Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas.

”Indonesia dengan target penurunan emisi 41 % saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an juta, tapi bunyinya 50 persen. Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami. Arahan Bapak Presiden kepada saya sangat jelas bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” jelasnya.

Strategi yang dimiliki Indonesia, belum tentu dimiliki negara lain. Indonesia kata Menteri Siti sedang terus menerus memperbaiki sumber daya alamnya dengan langkah-langkah yang terukur.

”Kita tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa kita kerjakan. Mengurangi emisi GRK sudah sesuai dengan mandat UUD 1945. Ini memerlukan keterlibatan semua pihak, untuk itu saya menegaskan kembali pentingnya peran generasi muda di tengah berkembangnya demokratisasi di Indonesia. Tentu saja saya mengajak kita semua untuk tidak lelah mencintai Indonesia kita,” tutup Menteri Siti.

Sementara itu Ketua Umum PPI UK, Oki Earlivan menyampaikan bahwa mereka siap berkolaborasi dan ikut berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim yang tengah gencar dilakukan Pemerintah Indonesia.

”Kami telah menyimak strategi dan capaian, serta mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia, dan siap bekerjasama membantu pemerintah agar target pengurangan emisi dapat tercapai,” kata mahasiswa University of Oxford ini.

Dalam pertemuan tersebut turut hadir Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya, Dirjen Gakkum, Dirjen PKTL dan Tenaga Ahli Menteri LHK. Sementara mahasiswa PPI yang hadir tidak hanya dari wilayah Glasgow, tapi juga mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam PPI London, York, Oxford, Glasgow, Edinburgh, Sheffield, Leicester, Lancaster, Hull, Birmingham, Bristol, Bath, dan PPI United Kingdom.

Sumber : Biro Hubungan Masyarakat KLHK | Editor : Intoniswan

Tag: