Menteri Rini Sebut Total Laba BUMN 2018 Lebih dari Rp200 T

aa
Menteri BUMN Rini Soemarno mengaku bangga keuntungan total BUMN meningkat lebih dari Rp200 triliun, dibandingkan saat pertama menjabat hanya Rp150 triliun. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

 JAKARTA.NIAGA.ASIA-Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengklaim keuntungan seluruh perusahaan pelat merah mencapai lebih dari Rp200 triliun sepanjang 2018. Angka itu disebut Rini melesat dibandingkan laba BUMN empat tahun lalu yang tak menyentuh Rp150 triliun.

“Saat pertama saya ditunjuk sebagai Menteri BUMN, keuntungan BUMN Rp143 triliun, sekarang 2018 untungnya di atas Rp200 triliun. Jadi, terima kasih semua,” ungkap Rini di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (7/4) seperti dikutip CNNIndonesia dari Antara.

Tanpa kerja keras, kata Rini, mustahil bagi 143 BUMN membukukan keuntungan yang tinggi. Realisasi itu juga terjadi berkat sinergi antar perusahaan pada 2018 lalu. Ia menilai sinergi itu telah berhasil memperbaiki sejumlah kinerja BUMN yang sebelumnya terbilang kurang bagus. “Kami semua keluarga besar BUMN, karena itu harus selalu bersatu dan selalu saling menjaga,” ujar Rini.

Berkaca dengan kinerja tersebut, Rini pun berharap total keuntungan BUMN ke depannya dapat menembus lebih dari Rp500 triliun. Bila menengok beberapa kinerja keuangan perusahaan pelat merah yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) di sektor konstruksi, empat BUMN karya memang membukukan kenaikan laba dan pendapatan. Namun, laba mayoritas perusahaan justru melambat.

Salah satunya, PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) yang laba perusahaan tahun lalu tumbuh 2,06 persen. Laba PT Waskita tercatat melonjak jadi Rp3,96 triliun dari Rp3,88 triliun. Padahal, keuntungan yang diraup perusahaan pada 2017 lalu melejit 126,9 persen. Perlambatan juga terjadi pada PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI).

Laba bersih PTPP pada 2018 hanya naik 3,44 persen, sedangkan 2017 lalu sampai 50,87 persen. Sementara Adhi Karya, labanya dua tahun lalu melonjak 64,43 persen, tapi 2018 kemarin hanya 24,97 persen. Hal yang sama terjadi pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Emiten berkode BBNI itu meraup laba bersih sebesar Rp15,02 triliun atau naik 10,3 persen dibandingkan raihan akhir 2017 yang senilai Rp13,62 triliun. Namun, persentase pertumbuhan laba menurun dari periode sebelumnya yang mencapai 20,1 persen.

Nasib yang sama juga dirasakan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Pada 2017 lalu laba bersih perusahaan tumbuh hingga 49,5 persen menjadi Rp20,6 triliun. Sementara pada 2018, Bank Mandiri hanya mengantongi laba bersih Rp25 triliun, atau tumbuh melambat sebesar 21,2 persen.

Arus kas positif

Empat BUMN di sektor konstruksi kompak mencatatkan arus  kas positif sepanjang 2018. Penyakit menahun yang selama ini kental di BUMN konstruksi pun hilang. Sejak pembangunan infrastruktur masif dilakukan dalam empat tahun terakhir, performa keuangan emiten konstruksi mulai goyah karena arus kasnya semakin menipis dan minus. Pasalnya, perusahaan harus merogoh kocek tinggi dalam mengerjakan proyek dan baru mendapatkan pembayaran ketika pembangunan hampir selesai.

PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) adalah perusahaan yang pada 2017 lalu masih mencatatkan arus kas negatif. Padahal, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sudah positif pada tahun tersebut.

Arus kas Waskita Karya yang sebelumnya minus Rp5,95 triliun, pada 2018 berbalik arah positif sebesar Rp3,03 triliun. Kemudian, Adhi Karya tahun lalu memiliki arus kas positif sebesar Rp70,9 miliar, membaik dibanding 2017 yang minus Rp3,2 triliun. “Arus kas operasional Waskita Karya dan Adhi Karya yang positif terjadi mereka telah menerima pembayaran atas proyek yang selama ini dicatat sebagai piutang,” ujar Analis Kresna Sekuritas Andreas Kristo kepada CNNIndonesia.com, Jumat (5/4).

Wijaya Karya mungkin bisa disebut paling beruntung pada 2018 kemarin. Manajemen bukan saja bisa mempertahankan arus kas yang positif, tapi jumlahnya meningkat 44,68 persen dari Rp1,88 triliun menjadi Rp2,72 triliun.

Lain cerita, dengan PTPP. Arus kas mereka justru menurun hingga 51,04 persen dari Rp1,46 triliun menjadi Rp716,12 miliar. Andreas menyebut masalah tersebut dilatarbelakangi jumlah pembayaran gaji dan bonus karyawan yang meningkat. “Pada 2018 PTPP melakukan tiga akuisisi perusahaan sehingga jumlah headcount (perhitungan jumlah karyawan) memang meningkat,” katanya. (001)