Napi Korupsi: KPU Bersikukuh Larang Ikut Pemilu, DPR Minta Dibolehkan

kpu
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (Foto Ari Saputra/detikcom)

JAKARTA.NIAGA.ASIA- Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikukuh untuk tetap melarang mantan narapidana perkara korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg) meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menentangnya.

Norma baru ini diterapkan untuk membentuk pemerintahan yang anti-KKN. Komisioner KPU Ilham Saputra menegaskan pihaknya akan ‘tetap jalan terus’ menerapkan larangan mantan napi kasus korupsi untuk maju dalam pemilihan legislatif tahun depan meski DPR menentang rancangan peraturan komisi pemilihan umum (PKPU).

Dia bersikeras bahwa norma ini dibuat untuk memastikan pemerintah yang bebas korupsi, korupsi dan nepotisme. Untuk mewujudkan itu, dia menegaskan KPU siap digugat uji materi di Mahkamah Agung.

“Kami akan tetap jalan terus, bahwa kami akan tetap menormakan bahwa calon anggota legislatif adalah bukan napi koruptor, bahwa kami punya argumentasi bahwa ini adalah bagian upaya kami untuk menjalankan pemerintahan yang anti-KKN,” tegas Ilham ketika ditemui di gedung parlemen, Rabu (23/05). “Kita akan jalan terus dan siap digugat,” imbuhnya.

Anggota Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, Abdul Hakam Naja menyatakan KPU mesti mematuhi hasil rapat dengar pendapat perihal eks koruptor tetap dapat mendaftar sebagai calon anggota legislatif.

Sebab, jika pelarangan tetap diterapkan, itu bakal bertabrakan dengan UU Pemilu.”Jadi kesimpulan rapatnya kan [rancangan peraturan] KPU dianggap tidak sesuai dengan undang-undang yang menyatakan bahwa peraturan hukum positifnya memperbolehkan,” tegas Hakam.

Terkait dilema ini, menjelaskan mekanisme untuk menguji peraturan KPU sudah disediakan oleh UU Pemilu, dimana para pihak yang berkeberatan dengan materi yang ada dalam peraturan KPU bisa melakukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Agung.”Di sana lah mekanisme yang akan menilai dan memutuskan apakah betul peraturan yang ada dalam PKPU itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak,” ujar Titi.

ketua
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan tersangka korupsi masih bisa mencalonkan diri selama proses hukumnnya belum berkekuatan hukum tetap. (Foto Ari Saputra/detikcom)

Cegah korupsi berulang

Sebelumnya, rapat dengar pendapat antara Komisi II dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri yang digelar Selasa ( 22/05) menyimpulkan mantan napi korupsi tetap dapat mendaftar sebagai caleg pada Pemilu 2019.

Padahal, Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan dasar rancangan KPU tersebut berkaca pada pencalonan kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah pada tahun-tahun sebelumnya, yang mengungkap beberapa calon kepala daerah terseret kasus korupsi.

Menurut Arief, aturan ini merupakan cara KPU untuk mencegah berulangnya kejadian serupa.  “Sebetulnya itu merespons pada apa yang berkembang pada saat pencalonan pilkada. Setelah dicalonkan dan ditetapkan, kemudian beberapa ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Atas fakta-fakta tersebut, KPU kemudian melakukan pencegahan dari proses awal pencalegan,” jelas Arief.

Selain itu, KPU pula menambahkan poin tambahan dalam persyaratan caleg, antara lain adanya kewajiban bagi calon anggota legislatif, yakni calon anggota DPR, DPRD provinsi kabupaten/kota, hingga DPD untuk melampirkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN).

Lebih jauh, Komisioner KPU Ilham Saputra menambahkan regulasi ini perlu diterapkan untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas.  “Tentu saja, salah satunya menyuguhkan calon-calon yang terbaik,” tegasnya.

Namun, beberapa anggota DPR menilai wacana ini bertentangan dengan UU Pemilu pasal 240 ayat 1 huruf g.  Dalam pasal tersebut, dinyatakan, seorang caleg yang berstatus mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik. Wakil Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menghendaki supaya KPU berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Anggota Komisi II DPR Abdul Hakam menegaskan bahwa Komisi II setuju dengan semangat KPU yang melarang koruptor yang berencana untuk menjadi caleg. Namun jika diterapkan, itu bakal bertabrakan dengan Pasal 240 UU Pemilu. Dalam pasal itu, tidak ada larangan eks koruptor yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif.  “Tentu, dorongan publik untuk legislatif lebih baik, juga patut diapresiasi, tapi hukum positifnya seperti itu,” tegas Hakam.

Pemerintah anti-KKN

Menyoal hal itu, Ilham menegaskan pertentangan itu hanya soal perbedaan intepretasi. Bagaimana pun, KPU bersikukuh bahwa norma ini untuk menciptakan pemerintahan yang anti-KKN.  “Dan menjalankan pemerintahan yang bersih yang anti KKN, dan itu diatur juga dalam undang-undang,” kata dia.”Jadi bagaimana sebagai calon pejabat negara, mereka tentu saja harus relatif bersih, tidak pernah korupsi dan masyarakat dijadapkan dengan pilihan yang relatif bersih,” imbuh Ilham.

Titi Anggraini dari Perludem menjelaskan KPU tentu tidak gegabah dalam membuat aturan pelarangan dalam mencalonkan mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak ini. “Pasti KPU sudah melalu pertimbangan yang masak dan memperhitungkan argumentasi yuridis,” kata dia.

Pandangan hukum itu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, tutur Titi. Namun, peraturan ini seyogyanya dilihat secara komprehensif.  Pertama, KPU memang memiliki kewenangan untuk membuat peraturan secara mandiri, seperti dituangkan dalam UUD 1945.

Terkait pebedaan pandangan soal Undang-Undang Pemilu pasal 240 huruf g, Titi memandang KPU dalam hal ini berupaya untuk memastikan regulasi pemilu itu mengandung kepastian hukum.

Sebab dalam UU Pemilu pasal 169 huruf b tentang persyaratan calon presiden dan wakil presiden itu menyebutkan calon presiden itu tidak boleh mengkhianati negara dan melakukan kejahatan luar biasa antara lain: tindak pidana korupsi atau tindak pidana berat lainnya.

“Dengan demikian, untuk menjaga kepastian hukum tidak mungkin regulasi itu ditetapkan berbeda, bagi presiden dilarang mantan pidana korupsi atau kejatahan berat lainnya, sedangkan anggota DPR dan DPRD kok diperbolehkan. Dari situ kan sudah ada dualisme hukum, ada penerapan hukum yang diskriminatif,” ujar dia.

Sumber: BBC INDONESIA