Nelayan Harus Berdaulat, Tolak RZWP3K Pro Industri Ekstraktif!

aa
Nelayan Balikpapan hadang kegiatan kapal pengangkut batu bara di Teluk Balikpapan.

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Menyikapi tahapan penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kalimantan Timur (selanjutnya disebut RZWP3K), yang pada hari ini (Selasa, 16 Oktober 2018), sedang berlangsung tahap konsultasi teknis Peta Dasar dan Peta Tematik di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kaltim, masing-masing WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) , JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), dan JALH (Jaringan Advokat Lingkungan Hidup) Balikpapan, menyatakan menolak RZWP3K karena pro industri ekstraktif dan hanya akan membuat nelayan kehilangan daultanya atas kawasan pesisir.

“Nelayan Kaltim harus berdaulat atas kawasan pesisir Makanya kami menolak RZWP3K karena pro industri ekstraktif dan hanya akan membuat menyengsarakan nelayan dan penduduk di kawasan pesisir,” ungkap Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim saat membacakan sikap bersama  Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim dan  Ketua JALH Balikpapan dalam konferensi pers di Sekretariat WALHI Kaltim di Samarinda, Selasa (16/10/2018).

Merugikan Nelayan, WALHI-JATAM-JALH Minta Gubernur Hentikan Pembahasan RZWP3K

Kejanggalan kerja kelompok kerja

                Menurut Rupang, mereka mencatat ada sejumlah kejanggalan serta beberapa persoalan di wilayah pesisir dan nelayan. RZWP3K Kaltim sejak awal tidak melibatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Hal ini makin terlihat jelas saat proses konsultasi hari ini hanya 1 lembaga masyarakat sipil yang di undang. “Penyusunan draft perda RZWP3K yang seperti kejar tayang terlihat jelas disusun secara diam-diam, tidak transparan dan tidak partisipatif terhadap nelayan,” ujarnya.

Selanjutnya, Kelompok Kerja (KK) yang dibentuk oleh Gubernur Kalimantan Timur tidak memperhatikan tahapan penyusunan dokumen. Sementara tahap konsultasi teknis di KKP belum usai, justru Pansus RZWP3K di DPRD Kaltim telah dibentuk dan diklaim telah bekerja.

Pada tahapan ini, kata ketiganya, mereka  menduga telah terjadi proses melompat dalam penyusunan Raperda dan terburu-buru. Hal itu sangat bertolak belakang dengan visi Rezim Jokowi-JK dan Menteri Kelautan dan Perikanan, bahwa “Laut sebagai masa depan Indonesia”.

Beberapa persoalan

Saat penyusunan RZWP3K  tengah berlangsung telah ada beberapa persoalan. Pertama; Sebagian besar kawasan pesisir di Kaltim terhubung dengan Karst yang kita ketahui kaya akan sumber air tawar telah dicaplok sejumlah konsesi industri ekstraktif Sumber Daya Alam baik itu Tambang, Pabrik semen, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan Sawit serta Pelabuhan terminal khusus.

Kehadiran industri tersebut mengancam Ekosistem Karst Sangkulirang Mangkalihat yang menjadi penopang kelangsungan hidup nelayan dan juga Ekosistem laut khususnya di sepanjang pesisir wilayah utara Kalimantan Timur. Berdasarkan Perda RTRW Kaltim No.1 Tahun 2016 – 2036 dari 1,8 Juta Ha luas Kawasan Sangkulirang Mangkalihat 307.337 Ha diantaranya ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi karst. “Namun ironinya ada sebanyak 37 Izin Lokasi (14 Tambang, 1 Pabrik Semen, 21 Sawit, dan 1 Perkebunan Karet) diterbitkan di kawasan tersebut,” kata Rosiqin menambahkan.

aa
Dari kiri ke kanan, Fathul Huda, Ketua JALH Balikpapan, Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim, dan Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim (Foto Intoniswan)

Kedua; Fakta nelayan sepanjang pesisir Kalimantan Timur, mulai dari Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Balikpapan hingga Penajam Paser Utara dan Paser telah diabaikan haknya untuk menentukan zonasi tradisional tangkap nelayan.  Selama setahun ini (September 2017 – September 2018) sudah ada 4 kasus yang terjadi berkaitan dengan rusak dan tercemarnya wilayah tangkapan nelayan dari 4 wilayah (Berau, Balikapapan, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara).

Ketiga; Telah berlangsung pembangunan fisik pabrik dan tambang semen serta pelabuhan terminal khusus di wilayah pesisir biduk-biduk yang dalam Kepmen KKP No.87 Tahun 2016 di tetapkan sebagai kawasan konservasi. Jika mengacu UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 35 huruf i, telah terjadi pelanggaran pidana.

Keempat; Terbitnya izin reklamasi pesisir pantai Balikpapan terkait mega proyek Coastal Road yang membentang sepanjang 7.5 km dari pantai melawai hingga stal kuda (berbatasan dengan bandara sepinggan) tanpa adanya dasar hukum sebagaimana dipersyaratkan oleh undang-undang yakni berupa Perda RZWP3K.

Rencana pembangunan Coastal Road ini juga berpotensi menggusur ratusan KK yang sebagian besar adalah nelayan yang telah lama bermukim, serta berpotensi merusak biota laut di sepanjang bibir pantai yang akan menjadi lokasi reklamasi pembangunan Coastal Road.  Jika mengacu UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 35 huruf i, telah terjadi pelanggaran pidana.

Kelima; Carut marutnya tata kelola di area teluk Balikpapan menimbulkan  perusakan yang semakin masif. Hingga kini ratusan hektar mangrove dan padang lamun, serta hewan endemik teluk balikpapan terancam keberadaannya karena aktifitas industri yang sejak dari proses perijinannya banyak menabrak peraturan perundang undangan.

“Jelas dari beberapa hal tersebut Menteri KKP Susi Pujiastuti selama ini telah dipecundangi oleh Provinsi Kalimantan Timur, baik eskekutif maupun legislatif dalam tahapan penyusunan Raperda RZWP3K yang sejak awal penyusunannya melanggar sejumlah regulasi,” kata Fathul Huda.

Maka mengacu pada sejumlah temuan tersebut, Walhi-Jatam-dan JALH Balikpapan  menuntut agar  pembahasan RZWP3K Kaltim dihentikan hingga sejumlah IUP Ekstraksi SDA baik yang berada dalam Kawasan Lindung Geologi Karst Sangkulirang Mangkalihat serta Kawasan Konservasi pesisir Biduk-biduk dan Derawan Dicabut.

“Spirit dari RZWP3K Kaltim harusnya berbicara memperkuat kedaulatan Nelayan Tradisional dan masyarakat pesisir serta pro terhadap semangat pemulihan serta pelestarian pesisir dan pulau-pulau kecil di Kalimatan Timur,” kata Rupang diakhir penyataan sikap mereka. (001)