PAD Nunukan Dari Retribusi Pasar Hanya Rp7 Juta/Bulan

Keadaan pasar sentral Inhutani Nunukan (foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Nunukan dari Reribusi Pelayanan Pasar berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2013, masih terbilang kecil, hanyasekitar Rp 7 juta per buatan.

Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Nunukan, H. Dian Kusumanto, mengatakan, Perda Retribusi Pelayanan Pasar mulai aktif diberlakukan September tahun 2020 di  9 lokasi pasar milik Pemkab Nunukan di Kecamatan Nunukan, Sebatik dan Lumbis.

“Kalau kita bilang lambat, ya sangat lambat menerapkan Perda yang harusnya mulai sejak disahkan peraturan,” kata Dian pada Niaga.Asia, Selasa (09/03/2021).

Menurutnya, karena alasan lambatnya penerapan Perda itulah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Kaltara, sempat menjadikan persoalan ini sebagai temuan dan teguran yang harus dilaksanakan.

Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Nunukan, H. Dian Kusumanto. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

BPK RI meminta pemerintah daerah melalui Dinas Perdagangan dapat segera menerapkan Perda kepada semua pasar – pasar yang pengelolaan dan pengawasannya dibawah Pemerintah yaitu, pasar Inhutani Nunukan, pasar Jamaker Nunukan, pasar Inpres rombengan Nunukan, pasar baru Nunukan, pasar perbatasan Nunukan, pasar Pujasera Nunukan, pasar Bambangan Sebatik, pasar Tembaring Sebatik dan pasar Mansalong Lumbis.

“Dari 9 pasar, hanya 8 pasar dikenakan retribusi pelayanan pasar dengan total pendapatan sekitar Rp 7 juta lebih per bulan,” sebutnya.

Dian menyebutkan, penerapan perda retribusi pelayanan pasar tidak semudah dipikirkan, banyak tantangan dan kebijakan yang harus dijalankan bersamaan, apalagi turunnya penghasilan pedagang dimasa pendemi.

Untuk pedagang sayuran pasar sentral Inhutani, pemerintah menerapkan retribusi sebesar Rp 900, namun karena sulitnya mendapatkan uang kembalian Rp100, pedagang tidak mau repot memberikan uang pecahan Rp 1.000,oo.

“Kebihan Rp 100 tetap dihitung pembayaran dengan cara tidak dilakukan pungutan 1 kali dalam sebulan,” jelasnya.

Pasar Sentral Inhutani masuk dalam pengelolaan pemerintah yang lahannya hasil pinjaman dari PT Inhutani.  Pemerintah Nunukan sempat beberapa kali meminta pihak perusahaan menghibahkan lahan untuk hajat orang banyak.

Belum adanya pembebasan lahan Inhutani menjadi alasan pemerintah sulit mengembangkan ataupun merenovasi pasar, meski kondisi pasar mulai rusak parah karena tidak adanya perbaikan sejak dibangun.

“Lahan pasar Inhutani dibangun tahun 2002 dengan masa pemakaian 1 tahun, setelah itu belum ada perpanjangan pinjam pakai sampai sekarang,” terang Dian.

Paska berakhirnya perjanjian pinjam pakai, Pemerintah Nunukan menyerahkan pasar ke Inhutani untuk dikelola, namun pihak perusahaan menolak dengan alasan, pasar bukanlah tupoksi dari bidang pekerjaan perusahaan.

Pemerintah kemudian kembali mengelola pasar untuk ketertiban, pengawasan dan kebersihan. Seiring waktu berjalan, kondisi pasar mulai dimakan usia, kerusakan tidak dapat dihindari pada bagian atap dan tiang-tiang penyangga.

“Ketika pasar hendak diperbaiki total, pemerintah tidak mungkin mengalokasikan anggaran, rehab kecil bisa sekitar Rp 10 juta, lebih dari itu terhitung belanja modal,” jelasnya. (002)

Tag: