Pakistan Bersumpah Batalkan Pencabutan Status Daerah Istimewa Kashmir oleh India

AA
Tindakan India mencabut status khusus wilayah Khasmir menyebabkan kemarahan masyarakat di wilayah Kashmir-Pakistan. (Foto Reuters)

KARACHI.NIAGA.ASIA-Perdana Menteri (PM) Pakistan, Imran Khan, bertekad membatalkan keputusan pemerintah India mencabut status khusus bagi kawasan Kashmir-India, dan jika perlu dia akan membawa kasus ini ke PBB.

Khan mengatakan, keputusan India itu dapat menambah ketegangan antara kedua negara dan dia mendesak masyarakat internasional agar mengeluarkan kecaman.  Khan juga mengatakan langkah itu melanggar hukum internasional, seraya menambahkan bahwa dia khawatir akan terjadinya pembersihan etnis oleh India di kawasan itu.

Sebelumnya, tindakan India mencabut status khusus wilayah Khasmir menyebabkan kemarahan masyarakat di wilayah Kashmir-Pakistan.  Kawasan Kashmir-India masih ditutup dan rekaman video memperlihatkan, tentara India berpatroli di jalan-jalan yang tampak lengang.

Di kawasan Kashmir-India, terjadi pemberontakan separatis yang sudah berlangsung lama, yang menyebabkan ribuan orang tewas selama tiga dekade.  India menuduh Pakistan mendukung pemberontakan tersebut – tuduhan yang dibantah berulangkali oleh Pakistan. Pemerintah Pakistan mengatakan bahwa mereka hanya memberikan dukungan moral dan upaya diplomatik kepada warga Kashmir yang menginginkan adanya penentuan nasib sendiri.

PM Pakistan mengatakan dia ingin “memberi tahu dunia” tentang keputusan yang diumumkan oleh pemerintah India pada Senin lalu. “Melalui Dewan Keamanan PBB, kami saat ini mempelajari keputusan India tersebut, dan kami akan mengangkatnya ke Majelis Umum, kami akan berbicara dengan para kepala Negara di setiap forum … kami akan mengangkatnya di media dan memberi tahu dunia,” katanya.

AA
Imran Khan. (Foto Getty)

Khan mengatakan dia berpikir bahwa penghapusan status khusus itu akan memungkinkan India mengubah susunan demografis wilayah yang dihuni mayoritas Muslim. “Saya khawatir (India) sekarang akan melakukan pembersihan etnis di Kashmir,” katanya.  “Mereka akan mencoba untuk memindahkan warga lokal dan membawa orang lain dan menjadikan mereka mayoritas, sehingga penduduk setempat menjadi budak.”

Sebelumnya, Panglima militer Pakistan mengatakan pasukannya siap melindungi warga Kashmir untuk “perjuangannya meraih keadilan”. Suara kritis juga disuarakan China, yang bersebelahan dengan wilayah India dan Pakistan, yang menyatakan bahwa langkah India itu “tidak dapat diterima”.

Apa yang terjadi di wilayah Kashmir-India?

Pembatasan telekomunikasi dan akses media di Kashmir-India, serta diterapkannya jam malam, sudah diberlakukan di tengah kekhawatiran keputusan pemerintah India mencabut status otonomi itu dapat memicu protes berskala besar oleh kelompok masyarakat yang tidak senang dengan keputusan tersebut.

AA
Puluhan ribu pasukan tambahan dikerahkan menjelang pengumuman pemerintah India pada Senin. (Foto Getty)

Wartawan BBC Aamir Peerzada di Srinagar, yang berhasil mengakses ke masyarakat setempat dengan sambungan telepon yang terbatas, mengatakan ada kemarahan yang nyata di antara warga yang diajak bicara.

Terjadi aksi protes yang diwarnai aksi lempar batu serta penahanan terhadap pemimpin setempat. Masyarakat Kashmir di bagian lain negara itu mengatakan mereka tidak dapat menghubungi keluarganya.

Puluhan ribu pasukan tambahan dikerahkan menjelang pengumuman pemerintah India pada Senin.

Apa makna dari status istimewa?

Ketetapan khusus dalam Pasal 370 Konstitusi India memberikan otonomi kepada Jammu dan Kashmir. Langkah itu melindungi ciri khas demografi wilayah.

Mantan wartawan BBC yang bertugas di India, Andrew Whitehead, mengatakan pemerintah India di bawah komando BJP kini telah “secara sepihak mencabut dispensasi khusus’. Ketetapan lain yang terkait dengan Pasal 370 – 35A – memberikan hak istimewa kepada penduduk tetap, termasuk tunjangan pekerjaan.

Tetapi keistimewaan yang paling berarti adalah bahwa hanya mereka yang berhak membeli dan memiliki tanah di negara bagian itu. Ketentuan berlaku bagi seluruh wilayah Kashmir yang dikuasai India, termasuk Jammu dan Ladakh.

Semua itu sekarang dipastikan akan berubah sehingga memicu ketakutan akan terjadinya perubahan demografi di lembah Kashmir. “Ini merupakan perubahan paling besar terkait dengan status konstitusional Kashmir sejak tahun 1950-an,” jelas Andrew Whitehead.

AA
Mehbooba Mufti dan sejumlah politikus Kashmir dikenai tahanan rumah. (Hak atas foto Getty Images Image caption)

Karena wilayah Kashmir yang dikuasai India merupakan satu-satunya negara bagian yang berpenduduk mayoritas Muslim, banyak warga Kashmir telah lama curiga bahwa kelompok-kelompok nasionalis Hindu mendorong umat Hindu untuk berpindah ke Negara Bagian Jammu dan Kashmir.

Menurut mereka, pencabutan Pasal 370 adalah buktinya. Hal itu tidak dapat diterima oleh warga Kashmir mengingat hubungannya yang tidak mulus dengan pemerintah India.

Mantan Menteri Besar Jammu dan Kashmir, Mehbooba Mufti, mengatakan Pasal 370 tidak diberikan kepada penduduk negara bagian itu sebagai “hadiah”, melainkan “jaminan konstitusional yang diberikan oleh parlemen India kepada penduduk Jammu dan Kashmir”.

Ketika berbicara kepada pengarang dan kolumnis Aatish Taseer dalam wawancara eksklusif untuk BBC, Mufti mengatakan pencabutan status istimewa dilatari “perancanaan yang jahat”.

“Mereka hanya ingin menduduki tanah kami dan ingin membuat negara bagian berpenduduk mayoritas Muslim ini seperti negara bagian lain dan membuat kami menjadi minoritas dan mencabut wewenang kami secara total.”

Namun partai yang berkuasa BJP telah lama menentang Pasal 370 dan pencabutan itu masuk dalam manifesto kampanye partai dalam pemilu tahun 2019 ini.”BJP mengatakan integrasi penuh dengan India akan memajukan pembangunan, dan menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk memberikan perlakuan berbeda kepada Jammu dan Kashmir karena berpenduduk mayoritas Muslim atau karena diakui sebagai bagian dari Pakistan,” jelas Andrew Whitehead. Para pemimpin BJP dan banyak partai besar lain menyebut pencabutan status istimewa sebagai ‘keputusan’ bersejarah.

 Sumber: BBC News Indonesia