Pandemi COVID-19 Merusak Ekonomi Dunia Hingga Pendapatan Daerah

ilustrasi

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Daya rusak pandemi COVID-19 luar biasa, sudah sekitar 215 negara terpapar. Ini bencana terbesar diabad ke XXI karena COVID-19 telah merusak ekonomi dunia, bahkan sampai mengacaukan pendapatan daerah, baik itu yang asli (PAD) maupun yang bersumber dari dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke daerah.

Negara yang sebelumnya masuk kelompok adi daya, seperti China, Amerika Serikat, Prancis, Jerman  sekalipun terseok-seok menghadapi pandemi COVID-19. Negara super kaya seperti Arab Saudi pun “gemetaran” menghadapi dampak COVID-19, sehingga memangkas dan menghentikan sejumlah proyek mercusuarnya yang didesain sebagai penghasil devisa paska ambruknya harga minyak.

Lembaga-lembaga survei terpercaya di dunia, seperti Oxford Economic, Bloomberg, WTO, UNCTAD, ILO sama-sama menyimpulkan pandemi COVID-19 yang melebar keluar China pada Maret 2020 membuat aliran investasi asing di pasar global (foreign direct investment/FDI) turun 30-40%, volume perdagangan dunia turun 13-32%. Perjalanan turis dunia anjlok 40,1%.  Votalitas pasar keuangan dunia semenjak pandemi COVID-19 juga bergerak seperti roller coaster. besarnya jarak antara fluktuasi/naik turunnya harga saham atau valas mencapai 215%.

Lembaga riset Oxford Economic meramal dampak COVID-19  membuat pertumbuhan ekonomi dunia 2020 kontraksi (minus), -2,8%, sedangkan Goldman Sachc memprediksi pertumbuhan  ekonomi dunia -2,0%. Pertumbuhan ekonomi USA tahun 2020 diperkirakan paling jelek, -4,1%, Inggris -5,1%, Jerman -3,9%, China -0,2%.

Dampak global dari pandemi COVID-19 juga menambah jumlah penagngguran dan kemiskinan yang luar biasa, tak pernah terbayangkan dan diramal orang sebelumnya, karena lebih dahsat dibandingkan dampak perang. Di seluruh dunia, jumlah orang yang kehilangan pekerjaan akibat COVID-19 sekitar 195 juta orang. Kemudian, COVID-19 membuat 420-580 juta orang di dunia menjadi miskin.

Sedangkan negara yang ekonominya masuk kelompok menengah, seperti Indonesia, tergagap-gagap menghadapi dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang ditimbulkan COVID-19. Pemerintah  harus menyediakan dana Rp405 triliun untuk menanggulangi dampak COVID-19 untuk bulan April, Mei, dan Juni.

Jika pada bulan akhir Juni 2020 nanti pandemi COVID-19 masih menyebar, diperlukan lagi dana tambahan untuk bulan Juli, Agustus, dan September 2020. Berapa lagi dana diperlukan, wallahualam, bisa Rp200 triliun, tapi bisa juga Rp300 triliun.

Di dalam negeri, pandemi COVID-19 juga mengacaukan kegiatan dan anggaran di APBN dan APBD Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 yang ditetapkan sebelum COVID-19 masuk dan mewabah pada awal Maret 2020. COVID-19 memaksa pemerintah melakukan refocusing dan realokasi anggaran untuk tiga pengeluaran utama, yakni belanja kesehatan, sosial, dan insentif bagi pelaku usaha. Total anggaran di APBN yang direfocusing dan direalaokasi Rp405 triliun dan di APBD Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia berkisar Rp95 triliun.

Pembatasan aktivitas sosial dan di unit-unit produksi (pabrik) dalam rangka memutus mata rantai COVID-19, membuat pabrikan yang beroperasi tinggal sekitar 15 ribuan dari 40 ribuan yang ada di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020  terpangkas dari semula diproyeksi 5,3% tinggal 2,3%. Tingkat pengangguran  terbuka yang semula 5,2% naik setelah COVID-19 menjadi 8,3%. Jumlah orang miskin atau tingkat kemiskinan naik dari 8,68% menjadi 9,39.

Mati “suri-nya ekonomi Indonesia, selain karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat dan pabrikan (industri) juga disebabkan amblasnya ekonomi dunia, terutama negara yang secara tradisional negara tujuan ekspor komoditi Indonesia, seperti China, India, Taiwan, Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan. Pabrikan di dalam negeri juga mengurangi kapasitas produksi, bahkan ada yang berhenti total karena tidak mendapatkan bahan baku dari luar negeri.

Tidak itu saja, harga komoditi ekspor Indonesia seperti batubara juga turun, jika sebelum COVID-19 masih berkisar 95 USD per metrik ton, kini turun ke angka 61 USD. Harga minyak demikian juga, turun ke angka 36 USD/barel, jauh dibawah harga yang dipatok di APBN 2020 dikisaran  60 USD. Perputaran uang disektor pariwisata sejak Maret, juga dapat dikatakan sudah ke titik dasar, tingkat hunian hotel tinggal dikisaran 25%, jumlah okupansi yang belum menutup biaya operasional.

Dampak lanjutan dari efek  negatif beruntun pandemi COVID-19, juga memukul keuangan pemerintah daerah baik yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) maupun dari dana bagi hasil dari pemerintah pusat.

Menurut Presiden Joko Widodo, banyak daerah yang mengeluh terkait penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD).“Karena pasti Pendapatan Asli Daerah/PAD-nya menurun drastis dan ini yang dikeluhkan oleh daerah-daerah, ada yang menurun sampai separuh, ada yang menurun 30 persen,” kata Presiden, Jumat (15/5/2020).

Hal ini terjadi, menurut Presiden, karena aktivitas masyarakat juga anjlok sehingga retribusi tidak bisa dipungut. “Sekali lagi, ini relevansi dari sebuah kebijakan pasti konsekuensinya ada, yaitu income PAD turun,” tuturnya.

Seluruh pendapatan daerah pada tahun anggaran 2020 dipastikan menurun, penurunannya bisa saja berkisar antara 30-50%, baik itu yang bersumber dari PAD maupun DBH. Penurunan terjadi di semua  pos pendapatan DBH, baik bagi hasil batubara, minyak, pajak, cukai, perikanan dan kehuatan, serta lainnya. Dana yang diluncurkan pemerintah pusat melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) Fisik maupun non fisik, juga telah dipangkas, sehingga terkoreski dengan sendirinya di APBD-Perubahan 2020.

Fiskal provinsi dan semua kabupaten/kota di Kaltim 2020 juga “demam panas” karena PAD terbesar yang dibagi-bagi setiap tahunnya akan turun tahun ini. Misalnya  Pajak Bahan Bakar –Kendaraan Bermotor(PBB-KB) dimana rata-rata sebelum COVID-19 setiap tahun Rp3 triliun akan terpangkas dengan sendirinya stelah adanya pembatasan sosial dan kegiatan industri.

PAD dari BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) yang di APBD Kaltim Tahun Anggaran 2020 diproyeksi Rp1 triliun, juga bakal terkoreski sebab, sejak awal tahun 2020 transaksi kendaraan baru, baik roda 2 maupun roda 4 atau lebih sudah anjlok.

PAD dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang juga diproyeksi Rp1 triliun di tahun 2020 juga tak akan tercapai, selain karena tak ada penambahan kendaraan baru, masyarakat kemungkinan besar karena kesulitan keuangan, juga tak membayar pajak kendaraannya yang jatuh tempo tahun 2020.

Guncangan pada tiga komponen PAD Kaltim itu, (PBB-KB, BBNKB, dan PKB) akan menguncang sendi-sendi fiskal pemerintah provinsi hingga ke kabupaten/kota, karena sumbangannya terhadap PAD mencapai  dikisaran 87,5%.

Fiskal Pemerintah Kota se-Kaltim juga shock dengan datangnya COVID-19. PAD perkotaan sekitar 40% dari BPHTB (Bea Perihan Hak atas Tanah dan Bangunan) juga drop, transaksi property sudah lesu jauh sebelum COVID-19, dan bertambah lesu sekarang ini. Sumber PAD lainnya yang cukup besar adalah pajak hotel dan restoran, tapi kedua usaha tersebut disemua kota juga sedang “koma”, kecil kemungkinan, seperti kota Samarinda masih bisa mendapatkan pajak hotel dan restoran Rp30 miliar tahun ini. (intoniswan)

Tag: