
BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Sistem pengelolaan parkir di Kota Balikpapan mengalami perubahan mendasar sejak awal 2024. Dari yang semula dikategorikan sebagai retribusi daerah, kini statusnya berubah menjadi pajak daerah. Perubahan ini mengikuti regulasi nasional yang menyederhanakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi dua kelompok utama yaitu retribusi jasa umum dan pajak atas jasa tertentu.
Dampaknya tak hanya pada struktur kewenangan, tapi juga memengaruhi cara pemerintah mengelola pendapatan dari sektor ini sebab, kewenangan fiskal parkir berpindah dari Dinas Perhubungan (Dishub) ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Sementara tugas teknis seperti pengawasan dan pembinaan juru parkir tetap menjadi tanggung jawab Dishub.
“Begitu suatu titik parkir mulai beroperasi dan menghasilkan, statusnya langsung menjadi pajak. Secara fiskal, itu artinya menjadi kewenangan penuh Bapenda,” kata Kepala Dishub Balikpapan, Muh. Fadli, saat ditemui usai rapat di DPRD Balikpapan, Rabu (30/7/2025).
Sebelumnya, Dishub memiliki wewenang menarik retribusi langsung melalui juru parkir (jukir) binaan. Namun dengan transisi ini, Fadli menyebutkan Dishub kini lebih berfokus pada penataan lokasi, pembinaan personel lapangan, serta penegakan ketertiban parkir.
Realisasi masih jauh dari target
Sejak diberlakukan sebagai pajak, capaian penerimaan dari sektor parkir belum menunjukkan hasil signifikan. Hingga memasuki triwulan ketiga 2025, pemasukan parkir tercatat baru sekitar Rp300 juta hingga Rp400 juta, jauh dari target tahunan sebesar Rp2 miliar.
Kondisi itu mengulang tren tahun-tahun sebelumnya saat sistem retribusi masih berlaku. Selama tiga tahun terakhir, realisasi retribusi parkir rata-rata hanya mencapai 50 persen dari target.
Fadli mengungkapkan bahwa perubahan ke sistem pajak belum tentu memperbaiki performa penerimaan PAD. Perbedaan mekanisme, terutama dalam hal penarikan dan pelaporan, turut menjadi tantangan.
“Pajak itu bersifat kewajiban dan biasanya digabung dengan pajak restoran. Sementara retribusi punya pendekatan yang lebih langsung lewat jukir binaan. Mekanismenya berbeda, nilai dan titiknya juga beda,” terangnya.
Bahkan, Dishub telah mengusulkan agar sebagian kantong parkir bisa dikembalikan ke skema retribusi. Hal ini dinilai lebih cocok untuk lokasi-lokasi dengan pengawasan langsung oleh Dishub.
Untuk meningkatkan efektivitas dan transparansi, Dishub berencana menerapkan sistem parkir elektronik (non-tunai) di sejumlah lokasi strategis milik Pemkot. Tiga lokasi telah disiapkan sebagai proyek percontohan, yaitu Dome Balikpapan, Gedung Kesenian, dan Stadion Batakan.
Namun demikian, rencana ini masih dalam tahap evaluasi teknis. Belum dipastikan apakah sistem akan dikelola langsung oleh Dishub atau melibatkan pihak ketiga sebagai mitra operasional.
“Sebagian mungkin akan kami kerjasamakan dengan swasta, tapi tidak semuanya. Kami siapkan dua model, yakni jukir binaan Dishub dan mitra swasta yang resmi,” ungkap Fadli.
Ia menambahkan, skema campuran ini akan mengakomodasi situasi di lapangan yang beragam, sekaligus membuka ruang untuk pengawasan yang lebih kuat.
Saat ini, juga belum ada sistem publikasi rutin dari Pemkot Balikpapan yang merinci secara jelas bagaimana dana pajak parkir dimanfaatkan secara sektoral.
Meski demikian, Fadli percaya bahwa dana tersebut turut menopang berbagai kegiatan strategis Dishub, termasuk program pengendalian lalu lintas dan pembangunan infrastruktur transportasi.
“Misalnya, pembangunan depo kendaraan besar dan penataan jalur kendaraan berat, itu bagian dari penganggaran yang bersumber dari PAD, termasuk pajak parkir,” pungkasnya.
Koordinasi antara Dishub dan Bapenda pun terus dilakukan untuk memastikan kebijakan parkir ke depan berjalan lebih transparan dan berdampak langsung terhadap pelayanan publik.
Penulis: Putri | Editor: Intoniswan
Tag: Parkir