
BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Aksi unjuk rasa Aliansi Balikpapan Bergerak (Barak) di depan Kantor DPRD Balikpapan, Senin (1/9/2025), tidak hanya menampilkan orasi massa, tetapi juga menghadirkan suara warga dari berbagai latar belakang.
Kesaksian seorang pedagang kopi keliling dan pemuda asal Manggar menunjukkan beragam persoalan yang dirasakan masyarakat, mulai dari ekonomi, infrastruktur, hingga relasi dengan aparat.
Supadi, pedagang kopi keliling, tetap berjualan di sekitar lokasi aksi dengan mendorong gerobaknya. Ia mengaku memanfaatkan momentum untuk mencari nafkah.
“Kopi kakak, kopi kelilingnya. Karena ada momentum, saya geser ke sini, kebetulan kejadiannya dekat kantor DPR,” ucapnya sambil menawarkan dagangan.
Ia menegaskan bahwa pedagang kecil harus tetap bekerja demi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Jujur saja, saya cari uang kan bukan hal buruk. Kalau saya tidak cari, besok siapa yang kasih makan saya?” katanya.
Ia berharap pemerintah tidak terlalu keras dalam menertibkan pedagang kaki lima.
“Kalau ada yang jualan di pinggir jalan, jangan terlalu keras. Cukup diarahkan, beri peringatan, jangan langsung ditindak,” imbuh Supadi.

Selain itu, ia merasa prihatin atas kabar adanya ojek online (ojol) yang mendapat tindakan represif aparat dalam aksi di Jakarta.
“Aparat memang punya aturan dan ojol juga harus ikut aturan, tapi jangan berlebihan. Cukup diarahkan saja, jangan sampai terlalu keras,” tutur Supadi, yang turut mendengar kabar buruk itu di lingkungannya.
Sementara itu, Reza, pemuda asal Manggar Balikpapan Timur, hadir bersama rombongan dengan membawa keresahan yang berbeda. Ia menilai kenaikan gaji DPR tidak sejalan dengan kondisi infrastruktur di daerah.
“Terus terang saya ke sini karena marah dengan kenaikan gaji DPR, katanya sampai Rp100 juta. Sementara jalanan rusak saja tidak pernah diperbaiki. Itu yang bikin saya kesel,” ungkapnya.
Reza juga menyinggung pengalaman pribadinya saat berhadapan dengan aparat.
“Pernah saya ditilang di lampu merah dekat pos polisi. Saya sudah lewat, tapi malah dikejar dan langsung ditanya, ‘ada uang cash-nya kah.’ Baru setelah itu minta surat-surat. Rasanya nggak pantas aparat ngomong begitu di jalan,” beber Reza sembari mengingat kejadian lalu.
Di sisi lain, ia menekankan persoalan jalan rusak dan minim penerangan di kawasan Manggar hingga Tritip yang kerap membahayakan pengguna jalan.
“Jalanan bolong banyak, lampu jalan cuma satu dua. Kalau malam gelap sekali. Rata-rata kecelakaan tunggal ya karena jalan rusak dan gelap. Saya sendiri sering hampir jatuh,” jelasnya.
Lebih jauh, Reza mempertanyakan kinerja DPRD.
“Kerjaan DPRD apa sih? Tiap bulan terima gaji, tapi masalah jalan nggak kunjung selesai. Kesannya cuma duduk-duduk main TikTok,” bilangnya dengan penuh heran.
Ia juga menolak stigma politik uang yang kerap disematkan pada warga Balikpapan Timur.
“Saya pribadi menolak kalau ada yang bilang semua orang Manggar dibayar untuk pilih calon tertentu. Saya nggak percaya hal-hal begitu. Yang jelas, kami ingin kerja nyata dari pemerintah dan DPRD, bukan janji-janji,” tegasnya.
Keterangan Supadi dan Reza mencerminkan dua sisi keresahan masyarakat Balikpapan. Pedagang kecil menuntut ruang hidup yang lebih layak, sementara pemuda mengkritisi kebijakan dan kinerja lembaga politik.
Aksi yang digelar Balikpapan bergerak menjadi ruang terbuka bagi mereka menyuarakan pengalaman sekaligus tuntutan terhadap pemerintah.
Penulis: Putri | Editor: Intoniswan
Tag: Unjuk Rasa