Pelajar yang Bunuh Begal Divonis Satu Tahun ‘Pembinaan’ di Pesantren

aa
Dalam amar putusannya, hakim memerintahkan Balai Pemasyarakatan Malang untuk mendampingi dan membimbing anak ZA, yang berusia 17 tahun, selama masa pembinaan.  (Hak atas foto Eko Widianto Image caption)

MALANG.NIAGA.ASIA-Seorang pelajar berumur 17 tahun divonis terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan korbannya meninggal, walaupun dia bersikukuh hal itu dilakukannya untuk membela diri.

Apa ‘hukuman’ yang diterimanya?

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Jawa Timur, telah memvonis ZA, yang berusia 17 tahun, bersalah, dalam kasus penganiayaan sehingga menyebabkan korbannya meninggal dunia.

“Menyatakan anak terbukti secara sah melakukan penganiayaan yang menyebabkan meninggal,” kata hakim tunggal, Nuny Defiary, dalam amar putusannya dalam sidang yang digelar secara terbuka, Kamis (23/01).

“Menjatuhkan pidana kepada anak dengan pembinaan dalam lembaga LKSA Darul Aitam selama satu tahun,” tambahnya, seperti dilaporkan wartawan di kota Malang, Eko Widianto, untuk BBC News Indonesia.

Putusan hakim anak ini sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan dalam sidang sebelumnya.

Dalam amarnya, hakim memerintahkan Balai Pemasyarakatan Malang untuk mendampingi dan membimbing anak ZA, yang berusia 17 tahun, selama masa pembinaan. Hakim juga meminta balai itu melaporkan perkembangan yang bersangkutan kepada jaksa.

Bagaimana kasus ini bermula?

Kasus ZA diawali penemuan sosok mayat di kebun tebu di Desa Gondanglegi, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jatim, awal September 2019 lalu.  Korban tewas diketahui sebagai Misnan, 35 tahun. Hasil penyelidikan kepolisian kemudian berujung pada penangkapan ZA, dengan sangkaan sebagai pelaku pembunuhan korban.

Dalam berbagai kesempatan, ZA mengaku menganiaya Misnan, karena yang bersangkutan berusaha memerasnya, dengan mencoba merampas sepeda motor dan telepon genggamnya. Disebutkan pula Misnan berusaha memperkosa kekasihnya, VN, yang saat itu sedang bersama dirinya. Ketika itu Misnan ditemani rekannya, Ali Wava. ZA mengaku melawan tindakan Misnan, dengan menggunakan pisau, yang mengenai tubuh Misnan. Belakangan Misnan meninggal akibat tusukan itu, sementara Ali Wava memilih kabur.

Kasus ini sempat menjadi sorotan di media sosial, setelah polisi menetapkan ZA dengan pasal pembunuhan berencana, sementara ZA menganggap tindakannya sebagai membela diri.

Apa tanggapan pengacara ZA atas vonis bersalah?

Hakim Nuny mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan selama persidangan, yaitu bahwa ZA memiliki potensi dan bakat yang “harus diselamatkan untuk masa depan”. Hakim juga menyebut ZA “diterima di lingkungan sekolah dan teman sekolah”.

“Hukuman ini bertujuan bukan untuk memberi balasan atas perbuatannya. Tetapi agar anak memahami kesalahannya,” kata hakim. Tujuannya, lanjutnya, agar anak ZA memperbaiki perilakunya di kemudian hari. Menurutnya, putusan tersebut cukup pantas dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

Menanggapi putusan ini, penasihat hukum ZA, Bhakti Riza Hidayat, menyatakan “sedang pikir-pikir” apakah akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur atau menerimanya. “Berbagai pertimbangan tim hukum dan orang tua, kami tak menerima atau menolak. Pikir-pikir dulu,” katanya. Mereka diberi waktu tujuh hari untuk mengambil sikap.

Kepada wartawan, Bhakti kembali menegaskan bahwa tindakan ZA adalah untuk membela diri dari ancaman Misnan, yang disebut sebagai begal. Dia juga menyatakan pisau yang digunakan kliennya adalah untuk membela diri. “Pisau itu merupakan alat yang digunakan untuk kegiatan keterampilan di sekolah,” tambahnya.

“Hakim tak mempertimbangkan pasal 49 ayat 1 dan ayat 2, yakni unsur pembenar dan pemaaf menjadi dasar pertimbangan,” katanya.

Apakah ZA bisa tetap sekolah dan mengikuti ujian nasional?

Balai Pemasyarakatan (Bapas) Malang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia disebutkan akan mendampingi ZA selama menjalani vonis.  Disebutkan pula bahwa eksekusi putusan akan dilakukan setelah ada keputusan hukum tetap.

Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Madya Bapas Malang, Indung Budianto, menjelaskan anak ZA tetap bisa bersekolah, termasuk mengikuti ujian nasional SMA.  “Masih sekolah, hak sekolah tetap dijamin,” katanya, usai sidang.

Selama ini, saat menjalani proses persidangan, ZA disebutkan tetap bersekolah, walaupun berstatus tahanan kota dengan wajib lapor.

Mengapa ZA menjalani pembinaan di pesantren Darul Aitam?

Sesuai amar vonis, anak ZA akan menjalani pembinaan selama setahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, Wajak, Kabupaten Malang. Darul Aitam, pondok pesantren yang bekerjasama dengan Bapas Malang, akan berfungsi membina anak bermasalah dengan hukum (ABH).  “Gambarannya seperti santri, yaitu belajar agama di pondok pesantren,” katanya.

Selama di LKSA, katanya, bakal dilakukan pembinaan mental, seperti mengaji dan mendapat dukungan psikologi. Pembinaan mental, disesuaikan dengan tujuan pembinaan agar masa depan anak tak terganggu, katanya.

LKSA Darul Aitam, Wajak, Kabupaten Malang saat ini tengah menangani dua anak bermasalah dengan hukum (ABH) terkait kasus pembunuhan dan narkoba.

‘Saya ingin melanjutkan kuliah’

ZA kepada jurnalis mengaku bahwa dirinya konsentrasi belajarnya terganggu. “Terutama untuk persiapan ujian nasional SMA,” katanya kepada wartawan, usai sidang. Pelajar kelas tiga SMA ini mengaku selama ini tertekan. “Tak ada waktu untuk belajar, karena harus sering bolak balik menjalani pemeriksaan di markas Kepolisian Resor Malang di Kepanjen dan sidang di Pengadilan Negeri Kepanjen,” ungkapnya.

Saat ditanya apakah akan melanjutkan pendidikan?

“Pasti. Ada keinginan melanjutkan kuliah,” katanya.

Anak ZA mengaku syok sejak ditimpa kasus ini, sehingga dukungan teman dan gurunya membesarkan hatinya.

Penasihat hukumnya, Bhakti Riza Hidayat, menilai anak ZA membutuhkan konseling psikolog. “Agar kejiwaannya kembali stabil,” katanya.

‘Anak ZA Harus Dilindungi’

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) Jawa Timur, Luthfi Jayadi Kurniawan, mengatakan “anak ZA harus dilindungi”.  Caranya, yaitu memproteksi identitas, keluarga dan perkara yang dihadapinya.

“Jika perkara ini disebarluaskan akan berdampak terhadap psikologi anak,” katanya.  “Anak yang mendapat stempel melakukan kesalahan hukum akan mempengaruhi perilaku,” katanya.

Menurutnya, pembinaan terhadap anak bermasalah hukum (ABH) harus dilakukan secara hati-hati, dan harus berperspektif ramah anak.  Pendamping ZA, sambungnya, harus bisa mengembalikan kepercayaan dirinya.

“Hak belajar anak tak boleh terganggu. Seharusnya eksekusi bisa ditunda untuk memenuhi hak belajar,” katanya.@