Pemilu 2019: Semua Partai Baru Diperkirakan Gagal Lolos ke DPR

aa
Seorang warga Kota Lhokseumawe, Aceh, di salah-satu TPS memasukkan kertas suara yang sudah dicoblosnya, Rabu (17/04). (Hak atas foto Zikri Maulana/Getty Image caption)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Seluruh partai pendatang baru pada pemilu 2019 gagal lolos ke DPR karena tak memenuhi ambang batas parlemen, menurut hitung cepat mayoritas lembaga survei yang terakreditasi KPU. Pengamat politik menilai partai baru gagal menandingi kekuatan partai-partai lama karena belum memiliki rekam jejak kinerja dan tidak memiliki tokoh karismatik. Namun partai-partai baru itu tetap yakin jargon dan janji program mereka berhasil memikat perhatian pemilih.

Mereka menganggap potensi meraih kursi di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten sebagai modal menghadapi pemilu 2024. “Citra partai bisa dibangun melalui jejak rekam kinerja dan tokoh partai. Partai baru kan tidak punya kedekatan dengan warga dan belum terbukti kinerjanya,” kata peneliti Indikator Politik Indonesia, Adam Kamil.

Dalam perhitungan cepat, lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meraih 2,03% suara nasional. Di antara partai baru, PSI hanya lebih tinggi dari Partai Garuda (0,62%). Merujuk daftar itu, partai baru lainnya, Perindo dan Berkarya, masing-masing mendapatkan 2,68% dan 2,37%.

Hasil hitung cepat Indikator tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan lembaga survei lain.

Jika hasil hitung cepat sama dengan perhitungan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka untuk kalinya pertama sejak pemilu 2004, tidak ada partai baru yang lolos ke Senayan.

Pada 2004, Partai Demokrat yang menjalani debut meraih 10% suara. Sementara tahun 2009, Partai Gerindra dan Hanura lolos ke parlemen pusat dalam pemilu pertama mereka. Pada pemilu 2014, NasDem menjadi satu-satunya partai baru yang lolos.

Ketua DPP PSI Tsamara Amany mengatakan bahwa tidak lolosnya partai baru ke DPR tidak berarti mereka gagal menjual jargon atau program politik. Alasannya, meski tidak masuk DPR, sejumlah partai baru berpeluang besar menempatkan wakil di DPRD.

“Isu itulah (toleransi) yang melahirkan tiga juta pemilih kami. Ini isu yang sangat dekat dengan masyarakat,” kata Tsamara, Rabu (24/04). “Di daerah seperti Semarang, Surabaya, dan Aceh, isu ini jadi alasan orang mencoblos PSI sehingga kami dapat mengalahkan partai besar,” tuturnya saat dihubungi BBC News Indonesia.

Hal serupa dinyatakan Badaruddin Andi Picunang, sekretaris jenderal Partai Berkarya.

Ia mengatakan jargon Orde Baru yang ditawarkan partainya terbukti memikat pemilih, meski tidak mencapai 4% suara nasional. “Di beberapa kabupaten dan provinsi ada caleg kami yang masuk, ini menandakan partai kami diterima di masyarakat,” ucapnya.

Menurut Adam Kamil dari Indikator Politik Indonesia, partai baru harus terus memelihara eksistensi jika tak ingin mengulang kegagalan pada pemilu 2024.  Memanfaatkan perwakilan di DPRD, kata Adam, adalah salah satu strategi mencatatkan rekam jejak di mata masyarakat.

“PBB (Partai Bulan Bintang) dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) terus hidup terus sejak 1999. Di nasional memang tidak ada representasi, tapi mereka punya perwakilan di daerah. “Kalau ada kebijakan populis atau kontroversial, partai baru bisa ambil bagian untuk membangun citra bahwa mereka memang membela kepentingan publik,” ujar Adam.

Usai pemilu 2019, PSI berencana memperkuat basis dukungan mereka ke daerah. Tsamara mengatakan selama ini PSI baru dikenal di perkotaan. Tsamara mengklaim, PSI juga akan mewujudkan janji keterbukaan wakil rakyat melalui anggota mereka yang akan duduk di DPRD. “Ada banyak partai baru yang masuk DPRD tapi mereka tidak bisa menjaga momentum karena tidak membuat perubahan di daerah,” tuturnya.

Di sisi lain, Andi Picunang menyebut Berkarya akan mempertahankan jargon Orde Baru untuk memperbesar popularitas mereka di masyarakat. “Kami akan evaluasi program kerja, termasuk gimmick tentang Soeharto, bagaimana cara menyampaikannya. Baru dua terakhir ini kami munculkan program Pak Harto, tapi belum terlalu masif,” kata Andi.

Sumber: BBC News Indonesia