Penduduk di Ibu Kota Baru Galau karena Belum Tahu Dipindahkan Kemana

aa
Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo. (Foto Intoniswan/Niaga.Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Penduduk di calon ibu kota baru yang kawasan intinya dan penyangganya berada di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) galau karena belum tahu dipindahkan kemana oleh pemerintah. Sosialisasi tentang ibu kota baru itu ke penduduk dapat dikatakan tidak ada sama sekali, baik oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Kabupaten PPU.

Demikian terangkum dalam laporan Koordinator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim, Yohana Tiko, Ketua Pokja Pesisir dan Nelayan Balikpapan, Husein Suwarno, Sri Murlianti, Dosen Sosiolog Unmul, dan Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo yang juga menjadi moderator dalam acara jumpa pers Peluncuran Laporan “Ibu Kota Baru Buat Siapa?” di Samarinda, Selasa (17/12/2019).

Menurut Buyung Marajo, aliansi lembaga swadaya masyarakat (LSM) sudah tiga bulan mengumpukan berbagai informasi di lapangan di calon wilayah yang akan jadi ibu kota baru. Temuannya adalah, penduduk yang bermukim di kawan inti dan penyangga ibu kota baru, bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama, penduduk asli yang disebut dengan suku Paser Balik jumlahnya sekitar 150 KK (kepala keluarga). Kedua, penduduk migran seperti eks transmigran dan lainnya.

“Saat kami wawancarai, penduduk memberi tahu, belum ada aparat pemerintah mesosialisasikan soal ibu kota baru, termasuk kemana mereka dipindahkan kalau tempat tinggal mereka sekarang berada dalam kawasan inti ibu kota,” kata Buyung. “Data resmi tentang jumlah kependudukan di tingkat desa maupun kecamatan juga sulit diakses,” sambungnya.

Presiden Jokowi berdiskudi dengan Gubernur Kaltim Isran Noor saat mengunjungi Klaster Pemerintahan (Titik Nol) Ibu Kota Baru, di Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, Kaltim, Selasa (17/12) siang. (Foto: AGUNG/Humas)

Berdasarkan rancangan Bappenas total luas lahan yang diperlukan untuk 4 zonasi IKN lebih dari 442.000 hektar. Rinciannya, untuk kawasan inti (pusat pemerintahan) diperlukan lahan 2.000 hektar (ha), kawasan IKN ( 40.000 ha), kawasan perluasan IKN 1 (200,000 ha), dan untuk kawasan perluasan IKN 2 lebih dari 200.000 ha.

Buyung menambahkan, kalau melihat rancangan keperluan lahan yang dibuat Bappenas itu, ada kawasan lebih kurang 42.000 hektar yang harus dikosongkan dari penduduk untuk keperluan perkantoran 2.000 hektar dan 40.000 hektar bagi kawasan ibu kota baru.

“Penduduk hingga sekarang tidak ada yang tahu apakah tempat tinggal mereka sekarang ini masuk atau diluar 42.000 hektar tersebut,” ujarnya.

Koordinator Pokja 30 Kaltim ini menyesalkan buruknya manajemen informasi dan sosialisasi tentang ibu kota baru ke masyarakat Sepaku, sehingga yang terjadi dalam proyek pemindahan ibu kota negara (IKN) senilai Rp466 triliun itu, penduduk benar-benar tidak diajak bicara . “Penduduk bertanya-tanya dipindah kemana ya,” kata Buyung.

Didatangi calo tanah

aa
Ardiansyah, Pengurus DPP Lembaga Adat Paser. (Foto Intoniswan/Niaga.Asia)

                Ardiansyah, dari Lembaga Adat Paser yang hadir dalam peluncuran “Laporan Ibu Kota Baru Buat Siapa?” membenarkan  laporan aliansi LSM bahwa penduduk di Sepakau galau saat ini, termasuk merasa tindak nyaman dan merasa terteror karena sangat sering didatangi calo tanah.

“Calo tanah siang malam mendatangi penduduk, dengan segala bujuk rayu ingin membeli tanah penduduk,” kata Ardiansyah. “Belum ada sosialisisasi dari pemerintah ke penduduk, termasuk kemana harus pindah kalau tempat tinggal mereka masuk dalam kawasan yang harus dikosongkan,” tambahnya.

Sedangkan Sri Murlianti, Dosen Sosiolog Unmul berpendapat, kalau melihat skala proyek ibu kota baru sangat besar, wajar saja penduduk Sepaku galau, karena mereka itu ada yang penduduk asli yang statusnya masih tertinggal, hidup dari sektor pertanian, dan ada pula penduduk yang berasal dari eks proyek transmigrasi.

“Kalau penduduk harus pindah, seharusnya ada kejelasan dipindah kemana, masa depannya bagaimana, kompensasi apa. Kalau dilihat dari sudut pandang sosilogis, pindah tempat tinggal itu berat, karena ditempat yang baru harus membangun relasi baru,” ujar Sri. (001)

Tag: