Pengusaha Pelayaran di Nunukan Belum Lindungi Pelaut

Speedboat reguler Nunukan – Tarakan di PLBL Nunukan. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Perkumpulan Pelaut (PP) Kalimantan Utara menilai pengusaha  pelayaran belum memberikan perlindungan hukum, kepastian upah, dan perjanjian kerja tertulis bagi kru speedboat reguler maupun kapal yang dioperasikan sebagai moda transportasi laut.

“Pelaut – pelaut di Kaltara tidak memiliki perlindungan hukum karena di pekerjaan tanpa adanya Perjanjian Kontrak Kerja (PKL),” kata ketua PPK Kaltara, Awaluddin pada Niaga.Asia, Rabu (11/05/2022).

Akibat tidak adanya PKL itulah, nahkoda maupun anak buah kapal (ABK) yang bekerja di perusahaan transportasi pelayaran resmi maupun non resmi tidak memiliki hak jaminan perlindungan keselamatan dan kesehatan.

Selain itu, tanpa PKL para pelaut juga tidak memiliki jaminan kesejahteraan berupa kepastian besaran upah. Pengusaha pelayaran masih melakukan rekrutmen kesepakatan kerja dengan cara lisan dan dibuat sepihak pelaku usaha.

“Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 07 tahun 2000 pasal 18 ayat (1) tentang pelaut menyatakan bahwa setiap pelaut yang akan disijil harus memiliki PKL yang masih berlalu,” sebutnya.

Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang PKL berbunyi bahwa awak kapal wajib menandatangani PKL agar nahkoda dapat memasukan nama dan jabatan ke dalam buku sijil.

“Semua speedboat reguler Nunukan – Tarakan dan sebaliknya tidak memiliki PKL, keadaan ini sangat merugikan pelaut yang seharusnya memiliki perlindungan hukum,” bebernya.

Awaluddin menuturkan, jumlah pelaut di Kaltara diperkirakan mencapai 1.000 orang yang terbagi dalam pelayaran speedboat reguler maupun kapal-kapal pengangkut barang dan kapal penyeberangan antar pulau.

Belum adanya kesadaran pelaku usaha pelayaran memberikan perlindungan hukum bagi kru speedboat dan kapal membuat sejumlah nahkoda dan ABK mengajukan protes dan meminta PPK memfasilitasi penuntasan masalah ini.

“PP Kaltara terbentuk tahun 2019 yang berawal dari keluhan pelaut atas adanya kasus kapal resmi maupun speedboat terkait tidak adanya perlindungan hukum,” bebernya.

Untuk memberikan perlindungan bagi pelaut, Awaluddin meminta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Nunukan, membantu mengingatkan para pengusaha agar menerapkan aturan PKL bagi pekerja.

Nahkoda dan ABK adalah bagian dari kunci roda perekonomian daerah. Sebab, bayangkan jika pelaut mogok bekerja satu minggu saja, maka berapa besar kerugian pengusaha dan hilangnya ekonomi masyarakat.

“Kami mengingatkan pemerintah bahwa ada kunci roda perekonomian tidak terperhatikan, mereka digaji semaunya pengusaha antara Rp 750.000 – Rp 1,5 juta,” tuturnya.

Awaluddin menjelaskan, perlindungan hukum bagi pelaut Indonesia bernaung dibawah Departemen Perhubungan Laut dan Kementerian Tenaga Kerja. Khusus untuk upah kerja mengacu pada peraturan Dinas Tenaga Kerja pemerintah setempat.

Adapun landasan terkait pekerjaan yang sifatnya profesi mengacu pada peraturan diterapkan oleh Departemen Perhubungan Laut yang dalam hal ini Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP).

“KSOP bukan sebagai penentu, KSOP juga tidak bisa membuat KPL karena kesepakatan itu dibuat oleh pengusaha dan pekerja,” jelasnya.

Berawal dari tidak adanya PKL itu pula, pengusaha semaunya mengatur pelaut dalam hal jam kerja, bahkan mengancam memberhentikan jika pelaut meminta upah mendekati upah Minimum Kabupaten (UMK) sekitar Rp 3 juta lebih.

“Sebagian pengusaha kapal sudah menggunakan PKL, tapi besaran gaji dalam di perjanjian tidak sesuai dengan upah diterima pekerja, mereka memanipulasi besaran gaji,” ujar dia.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: