
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Wakil Gubernur Seno Aji menilai metode penilaian prevalensi stunting nasional perlu dievaluasi. Pasalnya, pengukuran stunting pada bayi usia 0 hingga 11 bulan sangat rentan menghasilkan data yang tidak akurat akibat perbedaan timbangan maupun panjang badan, sehingga berpotensi memperbesar angka stunting di daerah.
Ketidakakuratan itu telah menjadi perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) sejak lama. Maka, pihaknya akan mengusulkan revisi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar metode penilaian stunting diperbarui dan mempertimbangkan karakteristik pertumbuhan anak Indonesia secara lebih komprehensif.
“Ini satu hal yang perlu kita diskusikan dengan Kemenkes, apakah penilaian prevalensi kasus stunting juga diikutkan yang diatasnya, karena setelah 5 tahun sudah tidak bisa diukur lagi stunting itu,” ujarnya, Selasa (18/11/2025).
Ia mengaku mendapat masukan langsung dari Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, Jaya Mualimin, bahwa banyak bayi di bawah usia satu tahun ternyata secara alamiah terlihat tidak sesuai standar pertumbuhannya.
Namun seiring waktu, banyak orang tua yang mampu memberikan perawatan terbaik agar anak-anaknya tumbuh normal dan mengalami peningkatan tinggi badan yang pesat setelah melewati usia satu tahun. Kondisi itu, tidak tercermin dalam metode penilaian yang selama ini digunakan secara nasional.
“Rata-rata orang Indonesia di usia 0 sampai 11 bulan memang memiliki variasi tinggi dan berat badan yang cukup besar. Karena itu, ada kemungkinan mereka masuk kategori stunting padahal pada periode berikutnya tumbuhnya pesat,” jelasnya.
Metode penilaian saat ini terlalu fokus pada kelompok usia balita. Sementara untuk fase pertumbuhan anak, berlangsung jauh lebih panjang. Seharusnya, evaluasi pertumbuhan juga dilakukan pada rentang usia 5 hingga 15 tahun untuk memastikan apakah indikator stunting di awal kehidupan benar-benar berlanjut atau tidak.
“Ini mau kita sampaikan kepada Kemenkes. Pengukuran tidak bisa berhenti di bawah lima tahun, karena puncak pertumbuhan manusia terjadi hingga usia remaja. Harus dilihat juga apakah mereka tetap pendek atau justru tinggi pesat setelah masuk usia sekolah,” tegasnya.
Selain persoalan metodologi, Wakil Gubernur Seno Aji juga mengingatkan faktor lingkungan yang turut mempengaruhi tingginya prevalensi stunting di Provinsi Kaltim. Ia menyebutkan banyak warga yang tinggal di pesisir Sungai Mahakam masih bergantung pada air sungai tanpa proses filtrasi yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan dan berdampak pada tumbuh kembang anak.
Karena itu, ia meminta OPD dan SKPD terkait untuk melakukan pengecekan langsung di lapangan, memetakan keluarga berisiko, serta memastikan intervensi dasar seperti edukasi gizi, pemeriksaan hemoglobin, pengukuran lingkar lengan, hingga pemberian tablet tambah darah berjalan optimal.
Di sisi lain, angka penurunan stunting di Kaltim masih tertinggal dibanding capaian nasional. Nasional mampu turun lebih dari 1 persen, sedangkan Kaltim baru mencatat penurunan 0,8 persen. Data terbaru bahkan menunjukkan masih ada sekitar 39.137 kasus stunting di Kaltim yang perlu ditangani.
Karena itu, Seno Aji mengintruksikan adanya kolaborasi lintas sektor, mulai dari Dinas Kesehatan, DP3A, Dinas Sosial, hingga Baznas untuk memberikan dukungan intervensi bagi keluarga berisiko. Ia juga meminta agar setiap daerah membuat peta wilayah prioritas dan membuka posko-posko penanganan stunting agar intervensi lebih terarah dan terkontrol.
Pemprov Kaltim sendiri telah menargetkan prevalensi stunting dapat mendekati atau bahkan berada di bawah target nasional sebesar 18,8 persen sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto. Termasuk di dalamnya, program Hidup Sehat Stunting (PESUT) yang masuk dalam paket GratisPol.
“Kita ingin rakor ini menghasilkan kebijakan yang konkret, terukur, dan berdampak nyata terhadap penurunan stunting di Kaltim,” pungkasnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | Advertorial Diskominfo Kaltim
Tag: Stunting