Perkembangan Riset Nanoselulosa

Foto BRIN.

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Sejak tahun 2000-an Indonesia memasuki era nanoteknologi sehingga desain teknologi material sudah masuk pada skala nanometer yang menyebabkan fundamental dari beberapa material mengalami perubahan secara sifat.  Performa material struktur makro misalnya pada luas permukaan, akan semakin besar dan sifat-sifatnya pun berubah.

Hal tersebut dikemukakan oleh Kepala Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Akbar Hanif Dawam A. saat membuka webinar series ke-61 dengan topik “Nanocellulose Research Trend in Indonesia” pada Rabu (31/08) dengan narasumber Nanang Masruchin dan moderator Melbi Mahardika, peneliti dari Pusat Riset Biomasa dan Bioproduk BRIN.

“Melalui kesempatan ini, kita membuka seluas-luasnya peluang kolaborasi khususnya di bidang riset-riset biomassa atau pun nanoselulosa. Kita berharap ke depannya para periset dan akademisi yang memiliki kompetensi, minat dan interest pada riset nanoselulosa dapat berdiskusi untuk riset lebih lanjut,” tambah Dawam.

Sementara itu, Nanang Masruchin dalam paparannya menjelaskan tentang perkembangan nanoteknologi di Indonesia.

Bermula di tahun 2005 Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI) berdiri, di mana pergerakan riset nanoteknologi meningkat gaungnya secara nasional dengan adanya Agenda Riset Nasional tahun 2006-2009. Selanjutnya, pada tahun 2008 MNI merilis 100 Doktor Nano Indonesia dan disusun roadmap pengembangan teknologi industri berbasis nanoteknologi.

Berlanjut di tahun 2010 sampai 2014 Agenda Riset Nasional mulai memasukkan terminologi material maju atau advanced material. Di tahun 2012 program INSINAS salah satu topik yang menjadi fokus adalah tema teknologi material. Tahun 2013, MNI merilis buku 300 Ilmuwan Nano Indonesia.

Kemudian, pada tahun 2019 Kemenristekdikti membuat 9 tema IPTEKIN untuk pengembangan Making Industry 4.0 dalam bidang bioteknologi dan nanoteknologi.

“Bagaimana perkembangan nanoteknologi di era diatas tahun 2021?, itu yang akan menjadi tantangan BRIN kedepan,” ungkap Nanang.

“Hanya ada lima pusat kajian terkait nanoteknologi dan material yang ada di Universitas dengan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) di Indonesia, tiga diantaranya sudah menjadi pusat unggulan iptek. kelima pusat kajian tersebut ada di ITB, UNPAD, Universitas Negeri Malang, ITS dan UB. Saya berharap teknologi nano ini mampu menjadi pusat kolaborasi atau pun pusat studi yang ada di beberapa universitas di Indonesia kedepan,”ujar Nanang.

Ketua kelompok Riset Nanoselulosa itu juga menjelaskan tentang selulosa yang merupakan biopolimer terbanyak di muka bumi ini, ada dimana-mana, terbarukan, bio/kompatibel, biodegradable dan carbon neutral. Oleh karena itu perlu dilakukan riset pemanfaatan biomassa tersebut yang salah satu tujuannya adalah untuk mensubstitusi bahan-bahan bersumber dari minyak bumi yang tidak ramah lingkungan dan tidak terbarukan.

“Perbedaan antara selulosa dan nanoselulosa adalah selulosa merupakan rantai molekul, sedangkan nanoselulosa adalah gabungan antara rantai molekul selulosa tersebut yang membentuk ikatan dan memiliki sifat kuat. Kajian dari kelompok riset nanoselulosa adalah masih mempertahankan selulosa berbentuk kristal (nano) agar tetap memiliki hydrogen bonding, high modulus dan high strength, tetapi jika sudah berubah menjadi struktur molekul sifat-sifatnya akan berubah,” tambah Nanang.

Sudah terdapat beberapa produk nanoselulosa yang dikembangkan oleh berbagai industri di dunia diantaranya Blue Goose Biorefineries yang memproduksi dan menjual nanoselulosa dalam bentuk paket sediaan suspensi nanoselulosa,  Nippon Paper Group yang memproduksi ban, popok, produk olahan makanan serta produk kosmetik berupa lotion dan pelembab.

Nanang juga menjelaskan dalam paparannya, mengenai analisa gap riset nanoselulosa di Indonesia yang ia lakukan yang menggunakan tiga software pencari metadata publikasi yaitu, publish or perish, scopus dan Mendeley yang selanjutnya diolah menggunakan software VOSviewer.

Nanang menyimpulkan bahwa dari metadata yang diambil dari mesin pencari Google Scholar, alternatif bahan baku untuk sumber nanoselulosa masih bisa didivergenkan mengingat Indonesia merupakan sumber biomassa melimpah.

“Perlu pemilihan kata kunci yang spesifik. Riset nanoselulosa tersebar pada beberapa lokasi di Indonesia, serta belum banyak dipublikasikan pada jurnal-jurnal nasional dengan reputasi tinggi, kolaborasi periset intra-nasionalnya pun masih cukup rendah,” ujarnya.

Sedangkan metadata yang diambil dari Scopus, ia menambahkan, beberapa kata kunci sudah sangat jenuh, dari analisa riset pengembangan nano berbasis selulosa yang dominan adalah pemilihan kata nanoselulosa jika dibandingkan dengan selulosa nanokristal.

“Riset-riset terbaru masih berpeluang dalam bidang scaffold, sustainable packaging, barrier properties dan komposit perak-nano dan serat, kolaborasi riset di jurnal terindeks scopus lebih multi nasional,” pungkasnya.

Sumber: Humas BRIN | Editor: Intoniswan

Tag: