Perlu Mencari Pola Baru Penanggulangan Banjir di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang

aa
Jalan Abdul Wahab Sjahranie kini juga rawan banjir, paling tidak ada tiga titik yang rawan digenangi air ketiha curah hujan tinggi. (Foto Intoniswan)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Pemerintahan daerah di Kalimantan Timur perlu mencari pola baru penanggulangan banjir, utamnya di Kota Samarinda, Balikpapan, dan Bontang.  Pola baru perlu dicari karena biaya untuk menanggulangi banjir semakin besar, perlu perencanaan dan pembiayaan terpadu, lahan untuk lokasi membuat kolam retensi susah didapat dan semakin mahal, dan pemberian ganti rugi berupa rumah dan tanah hak milik kepada warga yang perlu direlokasi tidak bisa lagi dilakukan karena hambatan regulasi.

Demikian kesimpulan yang mengemuka setelah Komisi III DPRD Kaltim melakukan rapat kerja dengan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat Kaltim, Balai Sungai Wilayah III Kalimantan, Bappeda Kaltim, Samarinda, Balikpapan, Bontang, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Samarinda, Blaikpapan, dan Bontang, hari Senin (21/1).

Menurut Ketua Komisi III DPRD Kaltim, H Agus Suwandy, dalam rangka penanggulangan banjir di tiga kota utama di Kaltim tersebut, rapat juga sepakat mengusulkan kepada gubernur Kaltim untuk membentuk Tim Khusus yang melibatkan Pemkot Samarinda, Balikpapan, dan Bontang, Pemprov Kaltim, dan Balai Wilayah Sungai (BWS) III Kalimantan, sehingga dalam perencanaan dan penganggaran dapat berkelanjutan. “Usulan ini sebagai koreksi dari pelaksanaan kegiatan penanggulangan banjir yang sifatnya insisdentil, tidak berkelanjutan, dan parsial,” terangnya.

Kemudian, perlu juga ada kesepakatan terkait Master Plan pengendalian banjir yang akan menjadi acuan bersama dalam pelaksanaan penanganan banjir dengan melibatkan pihak ketiga (swasta/dana dari CSR-corporate sicial responsibility). Dengan demikian nanti, dana untuk penenaggulangan banjir tidak hanya dari pemerintah, atau dari APBD Provinsi, APBN, dan APBD Kota Samarinda, Balikpapan, dan Bontang. “Masuknya dana CSR untuk menambah dana dari pemerintah yang jumlahnya terbatas,” kata Agus.

Dikatakan Agus, Pemprov dan Pemkot se-Kaltim, serta Komisi III DPRD Kaltim perlu mendorong dan mendampingi BWS mencarikan dana penanggulangan banjir ke Kementerian PUPR, sehingga diperoleh sokongan dana yang memadai dari APBN untuk menanggulangi banjir di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang. “Untuk menormalisasi sungai, membuat kolam retensi, menormalisasi anak-anak sungai dan drainase perlu dana besar. Kita perlu mengusahakan dapat dana dari APBN dan CSR,” katanya.

Masalah krusial

                Rapat Komisi III DPRD Kaltim juga mengidentifikasi masalah krusial penanggulangan banjir, antara lain; Pertama; penyelesasian dampak sosial, atau ganti rugi atas lahan yang harus dibebaskan untuk keperluan kegiatan penanggulangan banjir tidak pernah berjalan mulus, selalu tersendat-sendat di lapangan, baik karena faktor dana ganti rugi maupun faktor negosiasi. “Dana untuk menormalisasi drainese tersedia, dana untuk ganti rugi tak tersedia, ada kedua dana tersedia, tapi negosisasi lahan buntu,” kata Agus. Akhirnya dana yang sudah dialokasikan untuk kegiatan fisik tak terpakai maksimal.

Kedua; sekarang ini regulasi yang ada tidak memungkinkan lagi pemerintah kota memberikan ganti rugi rumah dan tanah gratis menjadi hak milik bagi warga yang direlokasi dari sungai yang hendak dinormalisasi. “Ini juga jadi masalah sebab, di kota Samarinda misalnya, warga relokasi dari Karang Mumus, dulu dapat ganti rugi rumah dan tanah gratis dan jadi hak milik warga,” ujarnya.

Menurut Agus, pemindahan warga yang direlokasi dari Sungai Karang Mumus ke rumah susu sewa juga jadi suatu yang krusial sebab, lahan untuk mendirikan rusunawa juga tidak mudah didapat. Kemudian, tinggal di rusunawa belum jadi budaya masyarakat Samarinda, utamanya bagi keluarga yang sudah memiliki anak lebih dari satu. “Bagi warga yang statusnya lajang, mungkin tidak masalah tinggal di rusunawa, tapi bagi yang sudah mempunyai anggota keluarga belum terbiasa,” ujarnya. (001)